Manis, Kini Terasa Pahit
Namanya Manis. Dulu, namanya bukan sekadar sebutan. Ia mewakili harapan. Ia mewakili suara lantang dari rakyat kecil yang bosan dibohongi janji. Ia bersuara tentang jalan rusak, ketimpangan, dan nasib wong cilik yang digilas mesin birokrasi. Tapi kini, publik mulai bertanya: ke mana suara itu pergi? Dulu, Manis berseru lantang tentang kerusakan jalan, lubang-lubang yang menanti korban, dan proyek-proyek mangkrak yang tak kunjung disentuh. Kini, topik itu seolah tak penting lagi. Yang dibahas malah soal sayuran. Brokoli, sawi, dan bayam—seolah itu yang paling mendesak di tengah penderitaan warga. Apa karena jalannya sendiri sudah mulus? Apa karena kini ia duduk nyaman, tak lagi harus berdesakan di kendaraan umum atau melintasi jalan desa penuh genangan? Kami tak tahu pasti. Tapi yang kami tahu: publik merasa dikhianati. Yang lebih mengiris, jalan rusak di daerah seperti Sumber—yang sempat viral dan bahkan dilirik pemimpin baru—kini kembali sunyi. Tak ada aksi nyata. Hanya jawaban klise ...