100 Hari Kerja Bupati Probolinggo: Gagal Prioritas, Gagal Rakyat
Oleh: Alfakir Bukan Ajudan
Seratus hari pertama adalah waktu emas yang seharusnya digunakan kepala daerah untuk menunjukkan arah baru, komitmen kuat, dan kepemimpinan yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat. Sayangnya, di Kabupaten Probolinggo, 100 hari kerja Bupati dan Wakil Bupati justru menjadi seratus hari kehilangan arah dan prioritas. Alih-alih menjawab rindu masyarakat terhadap pembangunan infrastruktur dasar, pemerintahan baru justru larut dalam proyek pencitraan kota.
Bupati dr. Moh Haris dan Wakil Bupati Fahmi AHZ datang membawa semangat baru. Janji kampanye mereka menggema di seluruh desa: memperbaiki jalan, mendekatkan pelayanan, menyejahterakan rakyat. Namun realitas berkata lain. Di hari ke-100, yang paling menonjol bukanlah jalan desa yang halus, bukan jembatan yang kokoh, bukan sekolah yang layak – melainkan trotoar alun-alun yang dicat ulang dan pendopo yang dipoles agar tampak lebih fotogenik.
Rp22 Miliar untuk Apa?
Salah satu aspek yang paling kontroversial adalah penggunaan dana program 100 hari. Dana sebesar Rp22 miliar yang “direfocusing” dari pos anggaran lain, awalnya disebut sebagai dorongan awal untuk merealisasikan janji kepala daerah baru. Tapi alih-alih membangun desa tertinggal atau memperbaiki jalan rusak di Kecamatan Tiris, Krucil, atau Paiton, anggaran ini justru tersedot untuk renovasi alun-alun Kraksaan dan estetika pusat kota.
Salah satu program unggulan: memoles alun-alun agar “mirip Jogja”. Sebuah ide yang bukan hanya tidak relevan, tapi mencederai nalar publik. Probolinggo bukan Yogyakarta, dan rakyat tidak butuh replika Malioboro. Mereka butuh akses jalan pertanian, fasilitas air bersih, dan pelayanan kesehatan dasar yang layak. Upaya menyeret-nyeret citra kota tanpa menyentuh kebutuhan masyarakat adalah langkah naif dan elitis.
Lebih parah lagi, ketika dana Rp22 miliar tersebut kemudian “terpangkas” menjadi Rp12 miliar tanpa kejelasan detail, DPRD pun mulai gerah. Ketua DPRD secara terbuka meminta rincian penggunaan dan dampak nyata dari dana tersebut. Sampai hari ini, belum ada jawaban memuaskan.
Simbol Gagalnya Kepemimpinan Awal
Seratus hari kerja harusnya menjadi fondasi kebijakan jangka panjang, bukan sekadar ajang peluncuran kosmetik politik. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Proyek-proyek berskala besar yang bersentuhan langsung dengan rakyat tertunda atau bahkan tidak tersentuh sama sekali. Pembangunan jalan? Masih sebatas janji. Penanganan banjir dan kemiskinan? Masih normatif.
Yang muncul adalah manuver-manuver untuk terlihat bekerja, bukan benar-benar bekerja. Pemerintah daerah sibuk meluncurkan program AKSI dan PROBOLINGGO BAIK-BAIK SAJA, yang terdengar nyaring namun miskin makna. Di balik slogan-slogan itu, masyarakat tetap harus menempuh jalan becek untuk ke sekolah, tetap antre di Puskesmas yang kekurangan obat, dan tetap hidup di bawah garis sejahtera.
Alih-alih membangun kepercayaan publik, 100 hari kerja ini justru mempertegas satu hal: Probolinggo tidak sedang mengalami transformasi pemerintahan, melainkan hanya pergantian pemain dalam permainan lama yang itu-itu saja.
RPJMD Tak Membantu Banyak
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) seharusnya menjadi pedoman arah pembangunan lima tahun ke depan. Namun dokumen ini pun turut mendapat sorotan tajam. Salah satu panitia khusus DPRD menemukan indikasi bahwa bagian dari dokumen RPJMD 2025–2029 disalin dari daerah lain, seperti Kabupaten Tuban dan Pasuruan. Ini bukan hanya memalukan, tapi memperlihatkan bahwa perencanaan pembangunan tak berbasis pada realitas lokal, melainkan hanya formalitas administratif untuk mengejar deadline.
RPJMD yang lemah dan tidak kontekstual adalah alarm bahwa arah pembangunan lima tahun ke depan berpotensi tak menyentuh kebutuhan rakyat. Jika dalam 100 hari saja yang dibangun hanya estetika kota, lalu bagaimana harapan lima tahun ke depan?
Rakyat Butuh Solusi, Bukan Simbol
Hari-hari awal dalam masa jabatan seharusnya digunakan untuk mengirimkan pesan kuat kepada rakyat bahwa perubahan sedang dimulai. Namun di Probolinggo, yang terlihat adalah pengulangan kegagalan lama dalam balutan wajah baru. Pembangunan alun-alun dan pemolesan pendopo mungkin bagus dalam foto, tapi kosong dalam substansi. Rakyat tidak butuh ornamen. Rakyat butuh bukti.
Seratus hari sudah lewat. Namun bukannya menjadi tonggak awal pembangunan yang berkeadilan, justru menjadi catatan buram tentang gagalnya pemimpin baru mengenali urgensi dan realita. Rakyat tidak boleh diam. Kritik harus disuarakan. Karena pembangunan bukan soal estetika kekuasaan, tapi soal siapa yang didengar, dan siapa yang dibangun
Comments
Post a Comment