Ceramah yang Membungkam: Untuk Siapa Habib Hasan Bicara ?

Kalau mimbar mulai terdengar seperti kantor Humas Pemda, kita patut bertanya.

Oleh: Alfakir, Bukan Ajudan

Aku mendengar potongan ceramah itu di sebuah grup WhatsApp. Viral. Bukan karena isinya menyentuh langit spiritual, tapi karena nadanya—seolah jadi pengeras suara bagi mereka yang sedang kesulitan menjawab kritik.

Habib Hasan Alhamid. Namanya sudah tak asing di kalangan jemaah. Bukan karena sanad keilmuannya yang panjang atau kitab yang ia tulis, tapi karena beliau ini cukup piawai menyentuh hati jamaah dengan gaya santai dan lugunya. Tapi kali ini beda. Kali ini, beliau naik mimbar dan bicara soal… video jalan rusak.

“Ga usah buat video macem-macem. Bikin kuburan di tengah jalan sampai viral. Ini bikin gaduh. Kalau belum waktunya dibangun ya belum waktunya. Tunggu proses. Gus Haris-Ra Fahmi masih baru.”

Begitu katanya. Lugas. Tegas. Tapi membingungkan. Sebab yang bicara bukan kepala dinas PU, bukan bagian humas Pemda, apalagi jubir bupati. Yang bicara adalah seseorang yang selama ini dikenal menjauhi politik, bahkan beberapa kali marah saat pengajian dicemari isu-isu politik.

Jadi pertanyaannya sederhana saja:

Ceramah itu untuk siapa? Untuk rakyat atau untuk kekuasaan?

Ketika Ulama Bicara Seperti Pejabat

Orang boleh beda pendapat, tapi publik juga berhak curiga. Apalagi kalau sebelumnya kita kenal beliau sebagai orang yang enggan ikut-ikutan dalam urusan politik duniawi, eh tiba-tiba malah jadi pelindung narasi pemerintah yang sedang kebingungan menjawab tuntutan rakyat.

Apa ini dakwah? Atau ini cara baru membungkam kritik dengan selendang agama?

Apakah rakyat tidak boleh mengeluh? Tidak boleh memviralkan jalan rusak?

Lalu bagaimana caranya menyampaikan aspirasi ketika jalur formal tak didengar?

Apakah kritik sekarang harus disaring dulu lewat lensa kesabaran ulama, sebelum bisa sampai ke telinga pejabat?

Demokrasi Bukan Dosa

Rakyat yang memviralkan jalan rusak bukan sedang cari ribut. Mereka sedang mewartakan fakta. Sedang menagih janji. Sedang berteriak agar didengar.

Dan jika ceramah agama malah menuduh itu sebagai kegaduhan, maka kita sedang memasuki fase di mana demokrasi dikriminalisasi oleh dalil kesabaran.

Sabar itu penting. Tapi kadang sabar juga bisa jadi jebakan.

Kalau rakyat terus diminta sabar, dan pejabat terus ditenangkan, lalu siapa yang mengingatkan kekuasaan?

Siapa Pemilik Mimbar?

Aku tak hendak menghakimi. Tapi aku ingin mengingatkan.

Mimbar bukan tempat untuk meninabobokan masyarakat.

Mimbar bukan ruang pelipur lara bagi pejabat yang lamban kerja.

Mimbar adalah tempat untuk menyeru kebenaran — sekalipun pahit, sekalipun menyakitkan. Termasuk kepada mereka yang kini sedang duduk di kursi kekuasaan.

Karena kalau tidak, maka mimbar akan berubah fungsi:

dari tempat menyuarakan kebenaran, menjadi alat pengendali narasi.

Jika hari ini seorang habib — yang dikenal tak mau berurusan dengan politik — bicara dengan nada penuh pembelaan terhadap kekuasaan, maka kita harus bertanya:

Ini ceramah, atau klarifikasi? Ini dakwah, atau siaran pers?

Dan kalau benar ada pesanan dalam ceramah itu, maka Alfakir hanya bisa berdoa:

Alfakir, bukan ajudan.

Tak punya jabatan. Tak punya pangkat. Tapi masih punya suara.

Comments

Popular posts from this blog

Krucil Tak Tersentuh Janji: Probolinggo Ganti Pemimpin atau Hanya Ganti Pemain?

Rangkap Jabatan di Lingkar Pemerintah Probolinggo: Ketika Kekuasaan Tak Lagi Terbagi

Politisasi Bansos diprobolinggo:Bantuan Provinsi, Panggung Bupati