100 HARI KERJA, ZERO PRESTASI? Pemerintahan Baru Probolinggo Dinilai Mandul dan Sibuk Citra

PROBOLINGGO – Program kerja 100 hari pemerintahan baru Kabupaten Probolinggo yang dipimpin Bupati Gus Dokter Haris dan Wakil Bupati Fahmi AHZ menuai kritik tajam dari kalangan pengamat kebijakan publik, aktivis, hingga masyarakat sipil. Alih-alih menunjukkan kinerja yang konkret dan menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, program ini justru dinilai mandul dan hanya sibuk memoles pencitraan.

Dari 11 poin program prioritas 100 hari yang tercantum dalam dokumen resmi, sebagian besar dinilai lebih menekankan pada simbolisme visual dan estetika kota. Contohnya: lomba desain alun-alun, pemasangan videotron, pengecatan cat warna sage, pembangunan gapura, hingga penataan ulang trotoar. Sementara program yang menyentuh kebutuhan rakyat seperti distribusi pupuk, perbaikan layanan kesehatan dan pendidikan, serta reformasi pelayanan desa, nyaris tidak tersentuh.

“Ini bukan kerja nyata. Ini make-up politik. Semua dibungkus rapi dalam narasi perubahan, tapi tidak menyelesaikan persoalan mendasar,” ujar R, aktivis kebijakan publik Probolinggo, saat diwawancarai, Rabu (26/6).


Klaim yang Terlalu Besar, Fakta yang Terlalu Sepi

Salah satu proyek yang paling sering diklaim sebagai capaian program 100 hari adalah perbaikan jembatan pasca-bencana dan infrastruktur dasar. Namun berdasarkan penelusuran dokumen anggaran, sebagian besar proyek tersebut merupakan kelanjutan dari rencana pemerintah sebelumnya dan dibiayai dari dana Bantuan Tak Terduga (BTT) atau APBD sebelumnya.

“Pemerintah sekarang tinggal meresmikan dan memotong pita. Bukan mereka yang merancang dari nol. Tapi di media, semuanya diklaim hasil keringat 100 hari kerja,” ujar seorang pejabat DPRD yang meminta namanya dirahasiakan.

Klaim-klaim sepihak itu kemudian disebarluaskan melalui media resmi pemerintah dan jejaring sosial, tanpa disertai data objektif maupun laporan terbuka capaian masing-masing program.


Retorika Tanpa Transparansi

Hingga kini, tidak tersedia laporan terbuka tentang indikator keberhasilan dari masing-masing program. Tidak ada audit pencapaian, tidak ada partisipasi publik dalam evaluasi. Pemerintah hanya mengandalkan rilis media, baliho, dan video-video pendek yang menunjukkan aktivitas seremonial dan sesi kunjungan lapangan.

“Yang dibangun bukan jalan, bukan irigasi, bukan sistem. Yang dibangun adalah persepsi publik,” kata seorang jurnalis senior lokal yang mewawancarai sejumlah OPD terkait program 100 hari.


Pemerintahan Sibuk Branding, Rakyat Tetap Menunggu

Beberapa pihak menilai, program 100 hari ini lebih merupakan launching politik dari pasangan Haris–Fahmi ketimbang agenda kerja nyata. Kegiatan seperti lomba desain alun-alun dan seragam berkopiah dua kali seminggu disebut lebih cocok untuk memperkuat identitas kelompok, bukan menyelesaikan problem sosial yang kompleks.

“Warga desa tak butuh gapura atau pedestrian dicat baru. Mereka butuh layanan kesehatan gratis, distribusi pupuk yang adil, air bersih, dan guru-guru tetap di sekolah,” kata Ida, aktivis perempuan dari kawasan timur Probolinggo.


Kesimpulan: Kosmetik Kekuasaan

Program 100 hari seharusnya menjadi kesempatan emas bagi Gus Haris dan Lora Fahmi untuk menunjukkan arah pembangunan baru. Tapi jika tolok ukurnya adalah berapa banyak cat yang dibeli, berapa layar videotron yang dipasang, atau seberapa sering wajah pemimpin tampil di media sosial, maka arah itu sedang melenceng jauh dari esensi pelayanan publik.

Pemerintahan ini masih punya waktu untuk membuktikan keseriusan mereka. Tapi jika pola seperti ini dibiarkan, maka kepercayaan rakyat hanya akan habis oleh spanduk dan gimmick.



Comments

Popular posts from this blog

Krucil Tak Tersentuh Janji: Probolinggo Ganti Pemimpin atau Hanya Ganti Pemain?

Rangkap Jabatan di Lingkar Pemerintah Probolinggo: Ketika Kekuasaan Tak Lagi Terbagi

Politisasi Bansos diprobolinggo:Bantuan Provinsi, Panggung Bupati