Menumpang Panggung: Ketika Jalan Rakyat Jadi Alat Kompensasi Politik

Oleh: alfaqir

Warga Kabupaten Probolinggo yang masih percaya bahwa kerja diam lebih bermakna dari klaim yang bising

Di panggung pembangunan, selalu ada dua peran: mereka yang bekerja — dan mereka yang menumpang tampil. Jalan Krucil–Bermi adalah contoh nyata bagaimana penderitaan rakyat bisa berubah menjadi properti politik dadakan. Bukan karena proyeknya keliru, tapi karena narasinya dicuri.

Ketika jalan yang rusak bertahun-tahun akhirnya masuk tahap pengerjaan, tiba-tiba muncullah dua tokoh dari legislatif lokal, berebut posisi di depan kamera. Yang satu dari partai penguasa, yang satu dari oposisi — beda warna, tapi gayanya sama: ingin dikenal sebagai penyelamat tunggal.

Yang satu, datang dari partai yang kalah telak di Pilkada. Sudah tak dapat kursi eksekutif, masih ingin menempel pada kerja rakyat. Karena panggung sudah sepi, maka jalan rakyat pun dijadikan latar. Kirim surat ke kecamatan, lalu kirim fotonya ke media. Seolah surat itu yang membangun, bukan puluhan musrenbang bertahun-tahun lamanya.

Yang satunya lagi, berasal dari partai pemenang. Tapi sayang, tak pernah benar-benar hadir dalam jeritan konstituen. Sudah duduk di kursi DPRD, tapi goyangannya tak terasa di tengah rakyat. Tak mampu meyakinkan warga bahwa dia mewakili. Akhirnya saat jalan dibangun, dia ikut menyahut, sekadar agar tak ketinggalan headline.

alfaqir menyebut ini bukan politik partisipatif, tapi politik ikut-ikutan. Dan ketika dua-duanya tampil di medan yang bukan bidang kerjanya, publik pun mulai bertanya:

Ini sidak atau sidak-sidakan? Ini kerja atau pura-pura kerja?

Jalan Krucil–Bermi bukan dibangun karena surat atau safari dadakan. Ia dibangun karena sudah direncanakan sejak masa Pj. Bupati, sudah masuk RKPD dua tahun lalu, sudah disahkan dalam APBD 2025, dan yang terpenting — sudah diperjuangkan rakyat dalam diam dan kekecewaan.

Yang menanam pisang di jalan bukan anggota dewan. Yang membuat batu nisan bertuliskan TKP Tukang Korupsi bukan fraksi manapun. Yang jatuh saat mengantar anak sekolah bukan tim sukses. Tapi ketika jalan mulai dibangun, yang datang pertama kali adalah kamera. Disusul mereka yang ingin ambil nama.

alfaqir tidak mempermasalahkan siapa pun yang ingin tampil. Tapi tampil lah di tempat yang tepat, dan dengan cara yang layak. Jangan datang setelah rumah berdiri lalu mengaku ikut menaruh batu bata. Jangan muncul setelah rakyat bekerja, lalu menulis: “ini karena saya.”

Karena rakyat tahu siapa yang hadir saat lumpur menggenang, dan siapa yang hanya hadir saat jalan mulai diratakan.

Dua tokoh, dua partai, dua sisi. Tapi sama-sama tak di tempatnya. Yang satu numpang tenar karena kalah Pilkada, yang satu sekadar menyambung eksistensi karena tak bisa yakinkan konstituennya sendiri.

Rakyat Krucil mungkin diam. Tapi bukan berarti lupa.

alfaqir Tidak sedang kampanye. Tidak sedang nyalon. Hanya sedang mengingatkan:

Kalau tak punya peran, jangan minta tepuk tangan.

Kalau tak berkeringat, jangan mengaku pahlawan.

Dan kalau tak di bidangnya — lebih baik diam daripada numpang panggung.

Comments

Popular posts from this blog

Krucil Tak Tersentuh Janji: Probolinggo Ganti Pemimpin atau Hanya Ganti Pemain?

Rangkap Jabatan di Lingkar Pemerintah Probolinggo: Ketika Kekuasaan Tak Lagi Terbagi

Politisasi Bansos diprobolinggo:Bantuan Provinsi, Panggung Bupati