New Update

Popular Posts

Wednesday, May 14, 2025

Simulakra Demokrasi di Ruang Legislatif: Antara Formalitas, Fatamorgana, dan Sandiwara Anggaran


Oleh: Ayat ayat Derita Rakyat

Di gedung-gedung yang dulu diyakini sebagai benteng suara rakyat, kini kerap berlangsung pertunjukan yang menyedihkan: demokrasi yang hanya tinggal dekorasi. Proses legislasi dan penganggaran berubah menjadi parade administratif yang kering makna. Bukan lagi forum deliberatif yang merayakan akal sehat dan suara publik, melainkan sekadar formalitas yang diatur ritmenya oleh kekuasaan yang lebih tinggi.

Salah satu contoh nyata adalah cara pembahasan dokumen-dokumen strategis—seperti Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ), Rencana Awal RPJMD, hingga perubahan APBD. Semua datang dengan pola yang sama: mendadak, tidak matang, dan seolah sengaja dirancang untuk tidak terbaca. Dokumen penting kerap diterima hanya beberapa jam sebelum rapat dimulai. Tidak ada waktu untuk membaca, apalagi menganalisis. Rapat pun digelar terburu-buru, keputusan diketuk tanpa perdebatan berarti.

Pertanyaannya: siapa yang sebenarnya berkuasa di ruang legislatif?

Ketika narasi “sudah dibahas di pimpinan” menjadi dalih yang membungkam dinamika, maka fungsi kontrol legislatif terhadap eksekutif runtuh seketika. Anggota dewan berubah menjadi figuran dalam panggung politik. Mikrofon mereka menyala, tapi suaranya hampa. Sebab substansi sesungguhnya telah diatur “di atas”, di luar ruang sidang.

Padahal, anggaran bukan hanya kumpulan angka. Ia adalah cermin dari keadilan, prioritas, dan arah pembangunan daerah. Ketika pergeseran anggaran antar-OPD dilakukan tanpa diskusi komprehensif, yang dikhianati bukan hanya konstitusi, tetapi juga nalar publik.

Situasi ini melahirkan sebuah simulakra demokrasi. Di permukaan, semuanya tampak berjalan sesuai prosedur: sidang dilaksanakan, notulensi disusun, palu diketuk. Tapi substansi demokrasi sudah lama terkubur. Rakyat ditipu oleh kemasan yang tampak legal, namun sejatinya kosong makna.

Kritik-kritik yang muncul di ruang dewan pun dianggap sumbang. Bukan karena tidak berdasar, tetapi karena mengganggu irama kekuasaan yang telah dirancang rapi. Keseragaman dianggap lebih penting daripada keberanian bersuara. Apakah para wakil rakyat kita tuli terhadap realita? Atau sengaja dibisukan oleh anggaran dan kenyamanan?

Kini saatnya setiap wakil rakyat mengingat kembali sumpah jabatan: bahwa loyalitas tertinggi mereka bukan kepada pimpinan, bukan pada partai, melainkan kepada rakyat. Bahkan ketika mikrofon dimatikan, suara nurani tidak boleh ikut padam.

Diam memang nyaman, tapi tidak semua kenyamanan itu benar. Dan ketika proses legislasi berubah menjadi panggung teater prosedural, kita tidak sedang menyaksikan demokrasi, melainkan kematiannya—perlahan tapi pasti.

Wahai Bupatiku, Dengarlah Suara Kami

Probolinggo – Di tengah hingar-bingar program 100 hari kerja Bupati Probolinggo yang gencar dipublikasikan ke berbagai kanal media, ada suara-suara lirih yang selama ini tersisih. Suara rakyat kecil yang tak meminta banyak, hanya satu: pemimpin yang berpihak dan hadir secara nyata.

Sejak dilantik, langkah-langkah Bupati terlihat penuh semangat. Namun di balik semangat itu, muncul kekhawatiran yang tak bisa lagi dibungkam. Kekhawatiran bahwa kepemimpinan yang kami harapkan membawa perubahan, justru terjebak pada pola lama—bahkan lebih jauh, pada gaya otoriter yang lebih halus, terbungkus estetika dan citra.

Pembangunan yang dilakukan lebih condong pada penataan wajah kota dan alun-alun, bukan akar persoalan rakyat. Rakyat tak butuh bunga yang mekar di trotoar, mereka butuh pupuk untuk tanaman mereka. Rakyat tak ingin acara seremoni yang meriah, mereka butuh pelayanan publik yang hadir tanpa protokoler.

Tak bisa dipungkiri, program “Sae Law Care” yang di awal tampak mulia, kini dinilai sebagian kalangan hanya sebagai pelindung bagi aparatur dan kepala desa, bukan rakyat yang seharusnya jadi pusat perhatian. Apalagi, dalam berbagai kesempatan kunjungan ke kecamatan, agenda yang dijalankan tak lain hanyalah seremoni simbolik tanpa ruang dialog terbuka.

Ironisnya, dalam kunjungan tersebut, tidak hanya unsur eksekutif yang hadir. Beberapa legislator pun ikut serta, sehingga fungsi kontrol yang seharusnya dijaga malah ikut larut dalam rombongan yang harmonis—namun berpotensi menghilangkan batas kuasa.

Yang lebih memprihatinkan, muncul pula cerita-cerita tentang orang-orang terdekat bupati yang bersikap arogan, seolah-olah mereka adalah “bupati bayangan”. Warga yang ingin menyampaikan keluhan tak jarang merasa terintimidasi atau bahkan diabaikan.

Mari kita lihat kembali hasil Pilkada terakhir. Meski kemenangan diraih dengan angka 80%, masih ada lebih dari 200 ribu warga Probolinggo yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bukan karena apatis, tapi karena pesimis. Mereka ragu, apakah benar akan lahir pemimpin yang benar-benar berpihak?

Kini, harapan itu kian meredup. Namun kami belum menyerah. Kami bersuara bukan karena benci, bukan karena oposisi. Kami bersuara karena kami cinta. Cinta kepada Probolinggo, dan karena kami pernah percaya bahwa Anda adalah pemimpin yang akan berbeda.

Kami tidak menginginkan proyek, kami tidak ingin mendekat untuk jabatan. Kami hanya ingin kebijakan yang menyentuh rakyat, bukan pencitraan yang dibungkus dalam balutan estetika.

Wahai Bupatiku, dengarlah suara kami. Jangan abaikan rakyat yang menaruh harapan padamu. Jangan ulangi kesalahan pemimpin sebelumnya. Jadilah pemimpin yang tegak berdiri bukan di atas podium seremoni, tapi di tengah rakyat yang sabar menunggu bukti.

Catatan : Artikel ini merupakan opini masyarakat dan bentuk partisipasi publik dalam menyampaikan aspirasi. kami membuka ruang hak jawab bagi pihak terkait guna menjamin prinsip keberimbangan informasi.

penulis : khoirunnisa oktavia

Tuesday, May 13, 2025

RPJMD Tak Kunjung Rampung, Ketua Pansus Bungkam: Rakyat Disuruh Tunggu atau Disuruh Lupa?

Oleh: nur laili

Sudah lebih dari seratus hari masa kerja pemerintahan baru di Kabupaten Probolinggo berjalan. Namun, satu hal paling mendasar yang menjadi roh perencanaan daerah justru masih tertinggal: RPJMD—Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Dokumen yang semestinya jadi pedoman arah pembangunan lima tahun ke depan itu belum juga rampung. Ini bukan sekadar soal keterlambatan administratif. Ini adalah keterlambatan visi, misi, dan arah.

Yang lebih mencengangkan lagi, Ketua Pansus RPJMD DPRD Kabupaten Probolinggo justru memilih diam. Bungkam. Tak ada klarifikasi, tak ada tenggat, tak ada rasa bersalah. Padahal, publik sudah mulai resah, sebab tanpa RPJMD, tak ada legalitas penuh bagi program kerja bupati. Lantas, semua kegiatan hari ini berbasis pada apa? Niat baik saja?

Diam Adalah Politik Paling Berbahaya

Ketika seorang Ketua Pansus diam, bukan hanya rakyat yang kehilangan informasi—tetapi juga kehilangan kepercayaan. Diam bukan lagi bentuk kehati-hatian. Dalam konteks ini, diam adalah bentuk pembiaran. Pembiaran terhadap mandeknya arah pembangunan. Pembiaran terhadap keraguan publik. Pembiaran terhadap matinya partisipasi rakyat.

Dan ketika rakyat mulai bertanya, “Siapa yang masih bisa dipercaya?”, maka itu artinya DPRD sudah gagal menjaga jembatan kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat.

RPJMD Bukan Brosur Politik

RPJMD bukan alat jualan untuk memoles nama. Ia adalah kitab suci pembangunan yang menyatukan mimpi warga dari pesisir, pedalaman, kota hingga kampung. Ketika RPJMD tertunda, maka seluruh perencanaan—dari perbaikan jalan desa hingga tata kelola pendidikan—ikut tertunda. Namun pemerintah tetap sibuk merayakan program 100 hari kerja dengan catwalk alun-alun dan jargon-jargon, seolah RPJMD itu tidak penting lagi.

Pertanyaannya Sederhana: Kenapa Terlambat?

Apakah karena ketidakmampuan tim penyusun? Ataukah karena tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif? Ataukah—yang lebih buruk lagi—semua ini memang disengaja untuk memberi ruang pada proyek-proyek yang sudah dirancang sejak awal tapi belum dilegalkan lewat RPJMD?

Kalau semua pihak bungkam, wajar bila rakyat menduga yang paling buruk.

Rakyat Tak Lagi Mau Jadi Penonton

Mereka yang diam hari ini, kelak akan diadili oleh sejarah. Karena ketidakberanian bicara pada saat yang genting adalah bentuk pengkhianatan. AlfakirBukanAjudan berdiri bukan untuk menyenangkan penguasa, tapi menyuarakan suara yang dikubur oleh rapat-rapat tertutup. Suara yang bertanya: ada apa sebenarnya di balik keterlambatan RPJMD ini?Jika Ketua Pansus tidak bicara, kami akan menulis.Jika eksekutif tak menjelaskan, rakyat akan mencari jawabannya sendiri.

Karena kepercayaan bukanlah warisan, melainkan tanggung jawab yang harus dijaga—dengan keterbukaan, integritas, dan keberanian menjawab kritik.

Kami bertanya untuk rakyat. Bukan untuk basa-basi.


.

Monday, May 12, 2025

Krucil Tak Tersentuh Janji: Probolinggo Ganti Pemimpin atau Hanya Ganti Pemain?

Oleh: alfakirbukanajudan.com

Lima minggu telah berlalu sejak janji pengaspalan jalan Krucil dilontarkan oleh akun resmi yang diduga milik Bupati Probolinggo. Janji itu disampaikan penuh semangat: “Bulan depan (Mei) insyaallah action pengaspalan.”

Kini, pertengahan Mei sudah di ambang pintu, namun jalan masih berlubang, kabar pun tak ada.

Bahkan kerikil pun belum dijemput ke desa.

Berpantunlah kami, rakyat kecil di kaki gunung:

Jalan berlubang dilalui becak,

Katanya Mei, tapi belum nampak.

Janji diucap di tengah sorak,

Realita sunyi, janji pun retak.

Yang lebih ironis, program 100 Hari Kerja yang digelontor dana 22 miliar justru diarahkan untuk memoles wajah kota: trotoar dipercantik, batas kota diperbarui, dan alun-alun disulap jadi panggung estetika. Estetika menjadi panglima, sementara infrastruktur pedesaan ditunda tanpa suara.

Dan rakyat kembali bersyair:

Ke kota cantik naik kereta,

Desa dilupa, jalan sengsara.

Jika janji hanya gaya-gaya,

Bupati baru, tapi rasa lama.

Tak berhenti di situ. Agenda “Bupati Ngantor di Kecamatan” yang semula ditunggu-tunggu masyarakat kini bergeser menjadi “Bupati Ngetrail ke Pelosok”. Aktivitas trail dan jalan-jalan ke desa menghiasi media sosial, tapi tanpa kejelasan pelayanan. Alih-alih membuka meja keluhan di kecamatan, yang terlihat hanya konvoi motor dan konten kamera.

Janji ngantor, tapi malah ngetrail,

Publik terdiam, kecewa mengalir.

Bukan rakyat yang jadi prioritas,

Tapi konten viral demi citra cerdas.

Lalu pertanyaannya kembali menggelayut di benak publik: Apakah Probolinggo benar-benar ganti pemimpin atau hanya ganti pemain? Apakah rakyat hanya ditukar dari penonton lama ke penonton baru, tapi lakon pertunjukannya tetap sama?

Jalan Krucil adalah cermin. Bukan sekadar infrastruktur yang bolong, tapi juga refleksi dari harapan publik yang mulai retak. Rakyat tidak menolak estetika, namun keadilan pembangunan harus menjadi asas utama.

Monday, April 28, 2025

Politisasi Bansos diprobolinggo:Bantuan Provinsi, Panggung Bupati


 Oleh: alfakirbukanajudan

Dalam dunia pemerintahan modern, program bantuan sosial (bansos) seharusnya menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat, bukan ajang pencitraan politik. Sayangnya, dalam kasus penyaluran Bantuan Sosial Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Kabupaten Probolinggo baru-baru ini, terjadi penyimpangan serius dari prinsip tersebut. Bantuan UEP, yang merupakan program resmi Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk pengentasan kemiskinan ekstrem, justru diolah menjadi panggung politik kepala daerah.


Bantuan Provinsi, Tetapi Diakui Secara Simbolik oleh Kabupaten


Dalam seremoni yang digelar di Pendopo Kecamatan Besuk, Bupati Probolinggo tampil seolah menjadi figur sentral pemberi bantuan. Padahal, jika ditelusuri secara substansial, program ini adalah inisiatif dan pendanaan murni dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, bukan dari pemerintah kabupaten. Ini jelas merupakan bentuk politisasi program sosial, di mana pejabat lokal berupaya memanen keuntungan citra pribadi dari program yang bukan inisiatifnya.


Fenomena ini sejalan dengan kritik James Ferguson dalam The Anti-Politics Machine (1990), yang menunjukkan bagaimana program pembangunan sering dipakai untuk memperkuat otoritas politik ketimbang untuk benar-benar memberdayakan masyarakat.


Ketidakjelasan Prosedural: Petugas PKH Tidak Dilibatkan


Lebih parah lagi, ditemukan fakta lapangan bahwa petugas Program Keluarga Harapan (PKH) di tingkat kecamatan tidak mengetahui kapan program ini diajukan, siapa yang mengusulkan, atau bagaimana kriteria calon penerima disusun. Padahal, petugas PKH adalah aktor kunci dalam pengelolaan data kemiskinan nasional melalui sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).


Ketiadaan koordinasi dengan lini teknis ini menimbulkan pertanyaan serius tentang validitas dan keadilan seleksi penerima bantuan. Tanpa mekanisme yang jelas dan tanpa pelibatan aparat teknis, distribusi bantuan rawan salah sasaran, manipulatif, bahkan berpotensi melanggengkan ketidakadilan sosial.


Sebagaimana dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky (1973) dalam Implementation, kegagalan komunikasi antara perancang program dan pelaksana lapangan akan berujung pada kegagalan implementasi kebijakan publik.


Risiko Disinformasi dan Instrumentalisasi Politik


Dengan mengklaim program bantuan sebagai buah tangan kepala daerah, terjadi disinformasi publik. Masyarakat awam diarahkan untuk percaya bahwa bantuan ini berasal dari kebijakan lokal, bukan dari upaya Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Ini membajak ruang apresiasi publik terhadap otoritas provinsi, sekaligus mempersempit ruang evaluasi objektif terhadap program sosial.


Dalam kacamata good governance (UNDP, 1997), tindakan ini melanggar prinsip dasar transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas administrasi publik.


Membajak Bantuan, Membajak Masa Depan


Jika pola ini terus berulang, maka:

Program bantuan sosial akan kehilangan orientasi substantifnya sebagai alat pengentasan kemiskinan.

Publik akan semakin apatis karena bansos dipersepsikan sebagai alat kekuasaan, bukan hak sosial.

Kemiskinan ekstrem tidak akan pernah benar-benar diatasi, hanya direkayasa untuk kebutuhan kosmetik politik jangka pendek.


Dalam jangka panjang, politisasi bantuan akan memperdalam distrust terhadap institusi pemerintahan lokal, memperlemah kohesi sosial, dan menggerogoti cita-cita keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.


Penutup: Saatnya Meluruskan Narasi


Masyarakat Kabupaten Probolinggo berhak mengetahui fakta apa adanya: bantuan UEP adalah program Pemerintah Provinsi Jawa Timur, bukan prestasi personal kepala daerah. Yang dibutuhkan saat ini adalah:

Kejujuran politik dalam komunikasi publik

Keterlibatan penuh aparat teknis seperti PKH dan TKSK dalam seluruh tahap program

Audit transparan atas proses seleksi penerima bansos

Reorientasi program sosial ke arah pemberdayaan nyata, bukan sekadar seremoni


Sebagaimana ditegaskan oleh Chambers (1994) dalam Whose Reality Counts?, pembangunan sejati hanya dapat terjadi bila realitas masyarakat yang diutamakan, bukan realitas buatan elit politik.


Jika tidak ada koreksi serius, maka bantuan sosial akan terus menjadi alat politik, bukan alat perubahan.



Referensi:

Ferguson, J. (1990). The Anti-Politics Machine. University of Minnesota Press.

Pressman, J. L., & Wildavsky, A. (1973). Implementation: How Great Expectations in Washington Are Dashed in Oakland. University of California Press.

UNDP. (1997). Governance for Sustainable Human Development. United Nations Development Programme.

Chambers, R. (1994). Whose Reality Counts? Putting the First Last. Intermediate Technology Publications.

Sunday, April 27, 2025

Air Ronggojalu dan Narasi Tabayyun: Menimbang Ulang Transparansi Pemerintahan Daerah

Dalam beberapa pekan terakhir, Kabupaten Probolinggo diguncang oleh isu sensitif terkait rencana penyaluran sumber air Ronggojalu ke Kabupaten Lumajang. Sumber air Ronggojalu, yang selama ini menjadi penopang kebutuhan air bersih masyarakat Probolinggo, menjadi pusat perhatian setelah beredar kabar bahwa sebagian debitnya akan dimanfaatkan untuk kebutuhan wilayah tetangga. Isu ini memicu respons keras dari masyarakat, tokoh agama, dan legislatif daerah, yang mempertanyakan dasar hukum, mekanisme, serta dampak ekologis dan sosial dari kebijakan tersebut.


Dalam konteks memanasnya perdebatan publik ini, Bupati Probolinggo melalui akun resminya mengeluarkan seruan untuk membudayakan tabayyun dalam menghadapi derasnya arus informasi di media sosial. Seruan tersebut menekankan pentingnya klarifikasi sebelum mempercayai dan menyebarkan informasi guna menghindari fitnah, adu domba, dan perpecahan sosial. Secara normatif, ajakan ini adalah sebuah nilai moral yang tidak bisa dibantah, karena sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam bermedia. Namun demikian, secara substansial, langkah tersebut mengandung sejumlah problematika serius bila dikaitkan dengan tuntutan keterbukaan informasi dan akuntabilitas publik.


Pertama, isu air Ronggojalu bukanlah sekadar persoalan “kabarnya”, melainkan merupakan fakta lapangan yang telah direspons secara resmi oleh berbagai elemen masyarakat. DPRD Kabupaten Probolinggo melalui beberapa anggotanya, termasuk dari Fraksi PKB dan Fraksi lain, telah menyuarakan penolakan terhadap rencana tersebut. Bahkan organisasi masyarakat sipil seperti Muslimat NU Probolinggo (RMOL Jatim, 2025) turut menuntut agar wacana pemanfaatan air ini dikaji ulang secara transparan dan partisipatif. Ketika kritik dan aspirasi ini muncul, mereka tidak berbicara dalam ruang kosong, melainkan berdasarkan realitas yang terkonfirmasi.


Kedua, dalam logika pemerintahan yang demokratis, respon terhadap isu sebesar ini semestinya bukan sekadar imbauan moral untuk “menyaring informasi”, melainkan berupa penyampaian data dan fakta yang lengkap kepada publik. Pemerintah berkewajiban menjelaskan:


  • Apa dasar hukum dari rencana penyaluran air Ronggojalu?
  • Bagaimana kajian teknis dan lingkungan terhadap dampak pengalihan air tersebut?
  • Apakah ada jaminan bahwa pasokan air untuk masyarakat Probolinggo tidak akan terganggu?
  • Apakah sudah dilakukan konsultasi publik secara memadai sebelum pengambilan keputusan?



Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci ini, narasi tabayyun berpotensi menjadi alat defleksi politik (political deflection), alih-alih menjadi instrumen membangun kepercayaan publik.


Ketiga, dalam era keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap warga negara berhak mengetahui kebijakan pemerintah yang berdampak langsung terhadap kehidupan mereka. Sumber daya air, yang termasuk dalam kategori common goods, tidak boleh diputuskan penggunaannya tanpa partisipasi aktif masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.


Keempat, secara ekologis dan sosial, pengalihan air lintas wilayah berpotensi menimbulkan konflik sumber daya, sebagaimana yang diulas dalam berbagai kajian akademik tentang water governance (Mehta, 2014). Probolinggo, dengan latar belakang kerentanan iklim dan ketersediaan air yang dinamis, seharusnya lebih berhati-hati sebelum mengambil keputusan strategis terkait air.


Dengan demikian, alih-alih mengarahkan masyarakat untuk sekadar menahan diri dalam menerima informasi, Bupati Probolinggo seharusnya:


  • Membuka data teknis dan kajian lingkungan hidup kepada publik secara transparan.
  • Melibatkan DPRD, tokoh masyarakat, akademisi, dan LSM dalam proses pengambilan keputusan.
  • Menyusun mekanisme konsultasi publik berbasis prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagaimana diakui dalam norma internasional.



Sebagai penutup, menjaga ketenangan sosial memang penting, tetapi membangun keterbukaan dan akuntabilitas adalah syarat mutlak bagi tegaknya pemerintahan yang demokratis. Dalam kasus Ronggojalu, tabayyun bukan sekadar tentang menahan diri berbagi informasi, tetapi tentang keberanian membuka informasi. Seperti kata pepatah lama, “cahaya matahari adalah disinfektan terbaik” — dan dalam demokrasi, transparansi adalah kunci utama menjaga kepercayaan rakyat.





Referensi:



  • RMOL Jatim. (2025). Muslimat NU Probolinggo Soroti Rencana Lumajang Ambil Air dari Ronggojalu. Link.
  • Mehta, L. (2014). The Politics and Poetics of Water: Naturalising Scarcity in Western India. Orient Blackswan.
  • United Nations. (2012). The Human Right to Water and Sanitation.
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.



 

Friday, April 25, 2025

Air Ronggojalu dan Krisis Ketegasan Pemerintah Probolinggo: Antara Solidaritas Regional dan Hak Dasar Rakyat

  Oleh: Alfakir Bukan Ajudan

Probolinggo – Rencana penyaluran air bersih dari sumber mata air Ronggojalu, Kabupaten Probolinggo, ke wilayah Kabupaten Lumajang menuai gelombang penolakan dari berbagai kalangan. Tidak hanya dari legislatif, tetapi juga dari organisasi masyarakat keagamaan seperti Muslimat NU hingga warga di desa-desa sekitar sumber air. Di tengah meningkatnya kekhawatiran publik, Pemerintah Kabupaten Probolinggo terkesan bungkam, tak memberikan sikap tegas atas potensi pengalihan sumber daya vital tersebut.


Padahal, data resmi menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Probolinggo sendiri masih mengalami defisit air bersih, dengan banyak desa yang masih bergantung pada pasokan air tangki saat musim kemarau. Di sisi lain, Kabupaten Lumajang secara agresif telah mendorong rencana pembangunan pipanisasi sejauh 30 kilometer untuk mengambil air dari Ronggojalu. Situasi ini menyisakan satu pertanyaan fundamental: apakah pemerintah daerah sedang gagal menjalankan amanah konstitusional dalam melindungi hak dasar rakyatnya?





Ambisi Lumajang dan Persetujuan Sepihak



Wacana ini berawal dari pernyataan Bupati Lumajang Indah Amperawati yang menyatakan bahwa pihaknya akan segera merealisasikan proyek pipanisasi air dari Ronggojalu untuk menyuplai kebutuhan air bersih di tiga kecamatan: Ranuyoso, Klakah, dan Kedungjajang. Ia mengklaim telah memperoleh persetujuan dari Bupati Probolinggo dan Wali Kota Probolinggo, bahkan sudah melapor ke Kementerian PUPR sebagai bagian dari proyek strategis nasional dalam skema SPAM Regional【2】【3】.


Namun ironisnya, tidak ada sosialisasi atau kajian publik terbuka di Probolinggo, bahkan DPRD Kabupaten Probolinggo mengaku tidak pernah diajak bicara. Hal ini menciptakan polemik baru karena sumber air yang menjadi tumpuan hidup warga Probolinggo justru direncanakan untuk dialihkan keluar tanpa konsultasi terbuka.





Penolakan Masyarakat dan Legislator Probolinggo



Penolakan muncul dari berbagai pihak. Anggota DPRD Kabupaten Probolinggo, seperti Muchlis dan Feri Gita Rahayu, menyuarakan penolakan tegas terhadap rencana ini. Menurut mereka, hingga saat ini masih banyak desa di sekitar Ronggojalu yang kesulitan air bersih, sehingga tidak logis jika air dialirkan ke kabupaten lain sementara kebutuhan lokal belum terpenuhi【3】【4】.


Muslimat NU Kabupaten Probolinggo, melalui ketuanya Nyai Hj. Nur Ayati, menyebut bahwa rencana itu harus ditinjau ulang. “Kami tidak anti-kerja sama, tapi jangan sampai kebutuhan masyarakat kami dikorbankan,” ujarnya tegas【2】.





Bungkamnya Pemerintah Probolinggo: Diam yang Mengkhawatirkan



Di tengah eskalasi protes publik, sikap Bupati Probolinggo, dr. Muhammad Haris (Gus Haris), dinilai tidak cukup tegas. Dalam beberapa pernyataan resminya, Gus Haris mengatakan bahwa belum ada surat resmi dari Pemkab Lumajang terkait rencana tersebut. Ia juga menyebut proyek serupa pernah dikaji pada tahun 2012, namun terkendala secara teknis dan finansial【5】.


Namun publik bertanya: Mengapa tidak ada pernyataan yang jelas untuk melindungi hak dasar air rakyat Probolinggo? Sikap yang terlalu diplomatis ini justru menyisakan ketidakpastian dan memperkuat kekhawatiran bahwa keputusan politik bisa diambil tanpa memperhatikan suara warga.





Risiko Ekologis dan Sosial Jika Proyek Diteruskan



Sumber air Ronggojalu memiliki debit alami sekitar 2.400 liter/detik, namun debit tersebut bersifat fluktuatif. Jika proyek ini mengambil hingga 300 liter/detik, maka tidak hanya pasokan rumah tangga terganggu, tetapi juga pertanian dan kebutuhan industri lokal bisa terdampak. Hal ini belum termasuk risiko ekologis jangka panjang, seperti penurunan muka air tanah, penurunan debit mata air, dan konflik sosial horizontal antarwilayah.


Tanpa kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan AMDAL terbuka, proyek ini jelas tidak layak dilanjutkan. Apalagi jika dilakukan tanpa partisipasi publik yang bermakna dan inklusif.





Hak Rakyat Atas Air dan Keadilan Tata Kelola



Menurut UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, air adalah hak dasar rakyat yang harus diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan masyarakat lokal. Konstitusi pun menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan elite atau pemerintah tetangga yang lebih lincah secara politik.


Proyek lintas daerah sah-sah saja, tetapi harus didasarkan pada prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan, serta mengutamakan pemenuhan kebutuhan internal terlebih dahulu.





Penutup: Tegaslah, Demi Rakyat Sendiri



Kasus Ronggojalu ini bukan sekadar konflik teknis antarwilayah. Ini adalah ujian bagi Pemkab Probolinggo: apakah akan berdiri untuk rakyatnya sendiri, atau tunduk pada tekanan luar?


Diam dalam isu ini adalah bentuk pengabaian. Dan pengabaian dalam urusan air adalah bentuk nyata kegagalan pemerintahan yang seharusnya “amanah”. Sudah waktunya pemimpin bersuara lantang: Probolinggo butuh airnya sendiri, sebelum membaginya dengan siapa pun.





Referensi



  1. Program 100 Hari Bersama OPD Pemerintah Kabupaten Probolinggo (2024).
  2. RMOL Jatim. (2025). Muslimat NU Probolinggo Soroti Rencana Lumajang Ambil Air dari Ronggojalu. Diakses dari: https://www.rmoljatim.id/muslimat-nu-probolinggo-soroti-rencana-lumajang-ambil-air-dari-ronggojalu-harus-dikaji-ulang
  3. iNews Probolinggo. (2025). DPRD Probolinggo Tolak Wacana Bupati Lumajang Ambil Air Bersih dari Ronggojalu. Diakses dari: https://probolinggo.inews.id/amp/585737/dprd-probolinggo-tolak-wacana-bupati-lumajang-untuk-menyambung-air-bersih-dari-ronggojalu
  4. BeritaKata.id. (2025). Tanggapan DPRD Probolinggo Terkait Sumber Air Ronggojalu. Diakses dari: https://beritakata.id/2025/04/21/tanggapan-anggota-dprd-kabupaten-probolinggo-terkait-pemanfaatan-sumber-air-ronggojalu-yang-disinggung-bupati-lumajang
  5. Keterangan Bupati Probolinggo dalam berbagai forum publik lokal, 2025.
  6. UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
  7. Peraturan Pemerintah No. 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.
  8. KLHS RPJMD Kabupaten Probolinggo