Simulakra Demokrasi di Ruang Legislatif: Antara Formalitas, Fatamorgana, dan Sandiwara Anggaran
Oleh: Ayat ayat Derita Rakyat
Di gedung-gedung yang dulu diyakini sebagai benteng suara rakyat, kini kerap berlangsung pertunjukan yang menyedihkan: demokrasi yang hanya tinggal dekorasi. Proses legislasi dan penganggaran berubah menjadi parade administratif yang kering makna. Bukan lagi forum deliberatif yang merayakan akal sehat dan suara publik, melainkan sekadar formalitas yang diatur ritmenya oleh kekuasaan yang lebih tinggi.
Salah satu contoh nyata adalah cara pembahasan dokumen-dokumen strategis—seperti Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ), Rencana Awal RPJMD, hingga perubahan APBD. Semua datang dengan pola yang sama: mendadak, tidak matang, dan seolah sengaja dirancang untuk tidak terbaca. Dokumen penting kerap diterima hanya beberapa jam sebelum rapat dimulai. Tidak ada waktu untuk membaca, apalagi menganalisis. Rapat pun digelar terburu-buru, keputusan diketuk tanpa perdebatan berarti.
Pertanyaannya: siapa yang sebenarnya berkuasa di ruang legislatif?
Ketika narasi “sudah dibahas di pimpinan” menjadi dalih yang membungkam dinamika, maka fungsi kontrol legislatif terhadap eksekutif runtuh seketika. Anggota dewan berubah menjadi figuran dalam panggung politik. Mikrofon mereka menyala, tapi suaranya hampa. Sebab substansi sesungguhnya telah diatur “di atas”, di luar ruang sidang.
Padahal, anggaran bukan hanya kumpulan angka. Ia adalah cermin dari keadilan, prioritas, dan arah pembangunan daerah. Ketika pergeseran anggaran antar-OPD dilakukan tanpa diskusi komprehensif, yang dikhianati bukan hanya konstitusi, tetapi juga nalar publik.
Situasi ini melahirkan sebuah simulakra demokrasi. Di permukaan, semuanya tampak berjalan sesuai prosedur: sidang dilaksanakan, notulensi disusun, palu diketuk. Tapi substansi demokrasi sudah lama terkubur. Rakyat ditipu oleh kemasan yang tampak legal, namun sejatinya kosong makna.
Kritik-kritik yang muncul di ruang dewan pun dianggap sumbang. Bukan karena tidak berdasar, tetapi karena mengganggu irama kekuasaan yang telah dirancang rapi. Keseragaman dianggap lebih penting daripada keberanian bersuara. Apakah para wakil rakyat kita tuli terhadap realita? Atau sengaja dibisukan oleh anggaran dan kenyamanan?
Kini saatnya setiap wakil rakyat mengingat kembali sumpah jabatan: bahwa loyalitas tertinggi mereka bukan kepada pimpinan, bukan pada partai, melainkan kepada rakyat. Bahkan ketika mikrofon dimatikan, suara nurani tidak boleh ikut padam.
Diam memang nyaman, tapi tidak semua kenyamanan itu benar. Dan ketika proses legislasi berubah menjadi panggung teater prosedural, kita tidak sedang menyaksikan demokrasi, melainkan kematiannya—perlahan tapi pasti.
Post a Comment