Rangkap Jabatan di Lingkar Pemerintah Probolinggo: Ketika Kekuasaan Tak Lagi Terbagi
Probolinggo – Pemerintahan baru Kabupaten Probolinggo yang mengusung jargon “Probolinggo SAE”—akronim dari Sejahtera, Amanah-Religius, Eksis Berdaya Saing—tengah menjadi sorotan tajam publik. Sorotan ini bukan karena semangat pembangunan yang melesat, melainkan karena indikasi praktik penumpukan jabatan di tangan segelintir orang yang dekat dengan lingkar kekuasaan Bupati dr. H. Mohammad Haris, M.Kes., atau lebih dikenal dengan Gus Haris.
Fenomena ini tampak pada struktur Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D), badan informal namun berpengaruh yang dibentuk pada 100 hari pertama pemerintahan baru. Berdasarkan dokumen resmi Program 100 Hari Bersama OPD, TP2D beranggotakan para profesor dan doktor dari bidang hukum, ekonomi, pertanian, planologi, dan tata kelola, yang dipimpin oleh seorang tokoh akademik dari Universitas Zainul Hasan Genggong, institusi pendidikan yang memiliki keterkaitan historis dan struktural dengan keluarga Gus Haris sendiri (Sumber: Program 100 Hari Bersama OPD, 2024).
Penunjukan tokoh dari lingkungan pesantren yang sama sebagai Ketua TP2D membuka pertanyaan: sejauh mana independensi dan akuntabilitas lembaga non-struktural ini, jika sejak awal telah dikuasai oleh lingkar internal? Terlebih, beredar kabar bahwa tokoh-tokoh yang sama juga memegang posisi strategis lain seperti di BUMD, komite proyek daerah, hingga yayasan lokal yang bekerja sama dengan pemerintah.
Ketika Satu Orang Memegang Banyak Posisi
Muncul istilah di tengah masyarakat Probolinggo: “sudah ada orangnya.” Istilah ini menyindir kondisi ketika jabatan publik strategis—baik yang bersifat struktural maupun fungsional—diisi oleh tokoh yang sama atau berasal dari jaringan yang sama.
Sebagai contoh, selain menjabat sebagai ketua TP2D, tokoh yang disebut dalam dokumen juga dikenal sebagai pemegang posisi strategis di yayasan pendidikan dan pembina komunitas lokal. Jika ia juga terlibat dalam pengelolaan BUMD atau menjadi tim ahli bupati, maka potensi konflik kepentingan menjadi tidak terhindarkan.
Dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan profesional, prinsip meritokrasi dan pembagian peran adalah jantung tata kelola yang sehat. Namun, praktik rangkap jabatan justru menggerus kepercayaan publik, serta menimbulkan kesan bahwa kekuasaan hanya berputar di tangan yang itu-itu saja.
Genggong Go Green dan Kritik Nepotisme
Contoh lain dari persoalan eksklusivitas kekuasaan muncul dalam program Genggong Go Green, sebuah gerakan lingkungan yang secara simbolik diluncurkan pemerintah daerah bersama pesantren Genggong. Meski tujuannya positif, program ini menuai kritik tajam karena kesan kuat bahwa ia dimonopoli oleh lingkar keluarga dan loyalis kekuasaan.
Dalam sebuah dokumen opini publik yang beredar luas (Kritik_Genggong_Go_Green_Nepotisme.pdf), muncul kritik bernada sarkas: “Go Green, tapi arahnya Go Nepotisme.” Ungkapan ini menyindir realita bahwa semangat pelestarian lingkungan yang seharusnya partisipatif dan terbuka, justru dibalut dalam struktur kekuasaan internal.
Lebih jauh, program penghijauan tersebut dipadukan dengan peluncuran “desa tematik” yang pelaksanaannya disinyalir tidak melalui proses partisipatif yang terbuka. Masyarakat menilai bahwa alih-alih memberdayakan komunitas luas, proyek ini lebih berfungsi sebagai alat penguat legitimasi kekuasaan tertentu.
Konflik Kepentingan dan Etika Administrasi
Dalam prinsip tata kelola publik, rangkap jabatan memiliki risiko tinggi terhadap benturan kepentingan (conflict of interest). Hal ini diatur dalam berbagai regulasi, termasuk:
- PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang menekankan bahwa pengisian jabatan publik harus berbasis sistem merit dan bebas dari praktik nepotisme, kolusi, dan korupsi.
- Pedoman OECD (2010) tentang good governance dalam sektor publik, yang menyatakan bahwa rangkap jabatan secara simultan dalam lembaga pengambil keputusan dapat mengganggu integritas sistem pemerintahan, terutama jika tidak disertai mekanisme transparansi dan akuntabilitas.
Dalam konteks Probolinggo, pengangkatan tokoh yang sama dalam TP2D, yayasan, BUMD, dan tim ahli—jika benar terjadi secara bersamaan—bukan sekadar masalah moral. Ia telah menyentuh titik rawan korupsi struktural, yang tidak bisa dibiarkan tanpa pengawasan publik.
Menghambat Akses dan Inovasi
Praktik semacam ini tak hanya menciptakan ketimpangan dalam distribusi jabatan publik, tapi juga menghambat regenerasi kepemimpinan lokal. Kalangan profesional, anak muda, dan tokoh masyarakat sipil yang memiliki kompetensi, menjadi enggan atau terhambat berkontribusi karena merasa tidak akan diberi ruang.
Seorang ASN muda yang tidak ingin disebut namanya menyatakan: “Semangat saya sempat membara ketika mendengar janji ‘SAE’, tapi ternyata yang diangkat tetap mereka-mereka juga. Kami tidak tahu lagi ke mana arah meritokrasi ini.”
Hal ini selaras dengan temuan dalam LP2D (Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah) sebelumnya yang menyebutkan lemahnya inovasi dan kapasitas kelembagaan menjadi salah satu problem mendasar tata kelola di Probolinggo.
Mengulang Sejarah?
Warga Probolinggo masih belum lupa bahwa pada tahun 2021, Bupati sebelumnya (Puput Tantriana Sari) bersama suaminya, Hasan Aminuddin, ditangkap oleh KPK karena terlibat dalam jual beli jabatan kepala desa. Kasus tersebut adalah contoh klasik bagaimana sistem yang tertutup dan nepotistik bisa berujung pada korupsi sistemik.
Kini, di bawah slogan perubahan, publik berharap ada perbaikan total. Namun jika praktik monopoli jabatan dan kekuasaan informal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin sejarah kelam itu akan kembali terulang—dalam wajah baru yang lebih rapi, lebih simbolik, tapi sama buruknya secara moral.
Penutup: Benarkah Probolinggo Sudah “SAE”?
Visi “SAE” tidak akan berarti bila prinsip keadilan, partisipasi, dan transparansi justru diabaikan. Pemerintah daerah perlu menjawab beberapa pertanyaan penting:
- Apakah proses pengangkatan anggota TP2D dan tim ahli dilakukan secara terbuka dan berbasis kompetensi?
- Apakah para pengisi jabatan strategis di BUMD dan proyek daerah memiliki afiliasi ganda yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan?
- Apakah masyarakat luas benar-benar diberi akses untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah, atau hanya dijadikan penonton?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bukan hanya menyangkut teknis pemerintahan, tapi menyangkut masa depan kepercayaan publik. Karena pada akhirnya, rakyat tidak hanya menagih jalan mulus atau taman hijau. Mereka menagih etika. Menagih keadilan. Menagih amanah.
Referensi Indikatif:
- Program 100 Hari Bersama OPD Pemerintah Kabupaten Probolinggo, 2024.
- Kritik publik dalam dokumen “Kritik Genggong Go Green & Nepotisme”.
- PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
- OECD (2010). Public Sector Integrity: A Framework for Conflict of Interest Management.
- Laporan media lokal terkait dugaan nepotisme dan seleksi jabatan strategis (BeritaNasional.ID, 2023).
- Catatan LP2D dan dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJMD Kabupaten Probolinggo 2025–2029).
Post a Comment