Probolinggo SAE: Saat Pembangunan Dijual, Suara Rakyat Dibungkam
Probolinggo SAE: Saat Pembangunan Dijual, Suara Rakyat Dibungkam
Oleh: Warga Probolinggo yang Tak Mau Diam
penulis : alfakirbukanajudan
Pernahkah Anda membayangkan hidup di sebuah daerah yang katanya sedang berbenah, tapi suara Anda justru dibungkam ketika bicara soal kenyataan? Itulah yang kami rasakan hari ini di Kabupaten Probolinggo.
Pemerintahan baru yang membawa slogan “Probolinggo SAE” – akronim dari Sejahtera, Amanah-Religius, dan Eksis Berdaya Saing – ternyata menyisakan luka bagi banyak warga. Kami, yang dulu percaya pada janji perubahan, kini mulai bertanya: apakah SAE hanya sekadar merek dagang politik? Atau justru wajah baru dari gaya kekuasaan lama yang lebih halus namun lebih membungkam?
Ketika Kritik Disebut Dosa
Di bawah slogan “SAE”, kami melihat tangan kekuasaan yang semakin besar dan berat menutup mulut rakyat. Mereka yang mencoba bersuara soal jalan desa rusak, harga pupuk tak terkendali, atau distribusi air bersih yang mulai langka, justru dianggap pembuat gaduh. Bahkan, ketika ada warga yang berani menyoal proyek pembangunan simbolik seperti Alun-alun megah atau gapura raksasa, mereka diperingatkan untuk “bicara yang baik-baik saja”.
Apa artinya demokrasi jika kritik dianggap tabu? Bukankah mereka yang bersuara itulah justru tanda rakyat masih peduli?
Pembangunan Tak Merata, Tapi Catnya Seragam
Dalam 100 hari pertamanya, pemerintah terlihat begitu sibuk mengecat kota dengan warna hijau sage – sebuah warna “resmi” yang konon menenangkan. Alun-alun ditata, taman dihijaukan, dan jalan protokol dipercantik. Tapi mari kita lihat sejenak ke arah pedesaan.
Jalan rusak tetap menganga, sawah-sawah kekeringan, dan air bersih semakin sulit diakses. Di beberapa desa, anak-anak sekolah masih harus menyeberangi jembatan darurat atau berjalan di jalan berlumpur. Di sinilah ironi itu menjadi nyata: kota makin indah, tapi desa tetap tertinggal. Estetika kota dibayar dengan pengabaian pedesaan.
“Go Green” atau “Go Nepotisme”?
Pemerintah juga meluncurkan program lingkungan bernama Genggong Go Green. Tujuannya mulia: menanam pohon, menjaga lingkungan. Tapi publik mencium aroma lain: program ini terlalu elitis, dikendalikan oleh kelompok yang sama, orang-orang yang itu-itu saja. Pohon yang ditanam dengan slogan “hijau” ternyata akarnya bertuliskan nepotisme. Proyek yang seharusnya milik semua justru dirasa jadi milik keluarga dan kroni.
Kalau proyek lingkungan saja sudah dibajak oleh kepentingan, bagaimana dengan yang lain?
Air Dikirim ke Luar, Warga Sendiri Kekeringan
Baru-baru ini muncul rencana pengambilan air dari Probolinggo ke Lumajang. Sebuah pipa besar akan dibangun, mengambil air dari sumber Ronggojalu – padahal, fakta dari dokumen RPJMD menunjukkan bahwa ketersediaan air bersih di banyak kecamatan di Probolinggo saja sudah defisit. Apakah logis jika kita menyuplai air ke luar daerah saat kita sendiri belum tercukupi?
Lebih menyakitkan, ketika masyarakat mempertanyakan ini, pemerintah diam. Tidak ada klarifikasi yang menenangkan, tidak ada transparansi. Seakan-akan ada yang sedang ditutup-tutupi.
Dinasti Baru yang Lebih Ganas?
Kami tidak anti perubahan. Tapi perubahan seharusnya menyentuh hati rakyat, bukan menutup telinga terhadap keluhan mereka. Kami tak ingin daerah kami kembali pada gaya Orde Baru, di mana siapa pun yang mengkritik akan dilacak latar belakangnya, dicari kesalahannya, bahkan diserang secara sosial. Kini, siapa pun yang mengkritik akan dituduh sebagai pembenci.
Di sinilah letak masalahnya: Probolinggo SAE tak lagi terasa “sae”. Kami menyaksikan kemunculan koalisi kekuasaan yang lebih kasar, lebih rakus, dan lebih tertutup dibanding rezim sebelumnya. Mereka tidak hanya membangun proyek, tapi juga pagar-pagar sosial yang membatasi siapa boleh bicara dan siapa tidak.
Kami Tidak Diam
Kami, rakyat kecil, hanya ingin satu hal: agar Probolinggo dibangun dengan adil, jujur, dan berpihak. Bukan hanya untuk segelintir elite di balik gerbang megah, tapi untuk setiap warga dari kota hingga dusun. Kami tidak menolak pembangunan. Tapi kami ingin pembangunan yang menyentuh, bukan hanya yang bisa difoto.
Kami tahu surat ini bisa membuat kami dicurigai. Tapi kami tak ingin menjadi generasi yang diam ketika yang salah dibiarkan terus tumbuh. Kalau benar ingin Probolinggo hijau, tanamlah keadilan. Siramilah dengan integritas. Jangan biarkan suara rakyat dibungkam oleh tangan kekuasaan yang membesar tanpa batas.
Kami hanya ingin Probolinggo benar-benar SAE – bukan hanya dalam slogan, tapi juga dalam kenyataan.
Post a Comment