Air Ronggojalu dan Krisis Ketegasan Pemerintah Probolinggo: Antara Solidaritas Regional dan Hak Dasar Rakyat
Probolinggo – Rencana penyaluran air bersih dari sumber mata air Ronggojalu, Kabupaten Probolinggo, ke wilayah Kabupaten Lumajang menuai gelombang penolakan dari berbagai kalangan. Tidak hanya dari legislatif, tetapi juga dari organisasi masyarakat keagamaan seperti Muslimat NU hingga warga di desa-desa sekitar sumber air. Di tengah meningkatnya kekhawatiran publik, Pemerintah Kabupaten Probolinggo terkesan bungkam, tak memberikan sikap tegas atas potensi pengalihan sumber daya vital tersebut.
Padahal, data resmi menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Probolinggo sendiri masih mengalami defisit air bersih, dengan banyak desa yang masih bergantung pada pasokan air tangki saat musim kemarau. Di sisi lain, Kabupaten Lumajang secara agresif telah mendorong rencana pembangunan pipanisasi sejauh 30 kilometer untuk mengambil air dari Ronggojalu. Situasi ini menyisakan satu pertanyaan fundamental: apakah pemerintah daerah sedang gagal menjalankan amanah konstitusional dalam melindungi hak dasar rakyatnya?
Ambisi Lumajang dan Persetujuan Sepihak
Wacana ini berawal dari pernyataan Bupati Lumajang Indah Amperawati yang menyatakan bahwa pihaknya akan segera merealisasikan proyek pipanisasi air dari Ronggojalu untuk menyuplai kebutuhan air bersih di tiga kecamatan: Ranuyoso, Klakah, dan Kedungjajang. Ia mengklaim telah memperoleh persetujuan dari Bupati Probolinggo dan Wali Kota Probolinggo, bahkan sudah melapor ke Kementerian PUPR sebagai bagian dari proyek strategis nasional dalam skema SPAM Regional【2】【3】.
Namun ironisnya, tidak ada sosialisasi atau kajian publik terbuka di Probolinggo, bahkan DPRD Kabupaten Probolinggo mengaku tidak pernah diajak bicara. Hal ini menciptakan polemik baru karena sumber air yang menjadi tumpuan hidup warga Probolinggo justru direncanakan untuk dialihkan keluar tanpa konsultasi terbuka.
Penolakan Masyarakat dan Legislator Probolinggo
Penolakan muncul dari berbagai pihak. Anggota DPRD Kabupaten Probolinggo, seperti Muchlis dan Feri Gita Rahayu, menyuarakan penolakan tegas terhadap rencana ini. Menurut mereka, hingga saat ini masih banyak desa di sekitar Ronggojalu yang kesulitan air bersih, sehingga tidak logis jika air dialirkan ke kabupaten lain sementara kebutuhan lokal belum terpenuhi【3】【4】.
Muslimat NU Kabupaten Probolinggo, melalui ketuanya Nyai Hj. Nur Ayati, menyebut bahwa rencana itu harus ditinjau ulang. “Kami tidak anti-kerja sama, tapi jangan sampai kebutuhan masyarakat kami dikorbankan,” ujarnya tegas【2】.
Bungkamnya Pemerintah Probolinggo: Diam yang Mengkhawatirkan
Di tengah eskalasi protes publik, sikap Bupati Probolinggo, dr. Muhammad Haris (Gus Haris), dinilai tidak cukup tegas. Dalam beberapa pernyataan resminya, Gus Haris mengatakan bahwa belum ada surat resmi dari Pemkab Lumajang terkait rencana tersebut. Ia juga menyebut proyek serupa pernah dikaji pada tahun 2012, namun terkendala secara teknis dan finansial【5】.
Namun publik bertanya: Mengapa tidak ada pernyataan yang jelas untuk melindungi hak dasar air rakyat Probolinggo? Sikap yang terlalu diplomatis ini justru menyisakan ketidakpastian dan memperkuat kekhawatiran bahwa keputusan politik bisa diambil tanpa memperhatikan suara warga.
Risiko Ekologis dan Sosial Jika Proyek Diteruskan
Sumber air Ronggojalu memiliki debit alami sekitar 2.400 liter/detik, namun debit tersebut bersifat fluktuatif. Jika proyek ini mengambil hingga 300 liter/detik, maka tidak hanya pasokan rumah tangga terganggu, tetapi juga pertanian dan kebutuhan industri lokal bisa terdampak. Hal ini belum termasuk risiko ekologis jangka panjang, seperti penurunan muka air tanah, penurunan debit mata air, dan konflik sosial horizontal antarwilayah.
Tanpa kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan AMDAL terbuka, proyek ini jelas tidak layak dilanjutkan. Apalagi jika dilakukan tanpa partisipasi publik yang bermakna dan inklusif.
Hak Rakyat Atas Air dan Keadilan Tata Kelola
Menurut UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, air adalah hak dasar rakyat yang harus diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan masyarakat lokal. Konstitusi pun menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan elite atau pemerintah tetangga yang lebih lincah secara politik.
Proyek lintas daerah sah-sah saja, tetapi harus didasarkan pada prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan, serta mengutamakan pemenuhan kebutuhan internal terlebih dahulu.
Penutup: Tegaslah, Demi Rakyat Sendiri
Kasus Ronggojalu ini bukan sekadar konflik teknis antarwilayah. Ini adalah ujian bagi Pemkab Probolinggo: apakah akan berdiri untuk rakyatnya sendiri, atau tunduk pada tekanan luar?
Diam dalam isu ini adalah bentuk pengabaian. Dan pengabaian dalam urusan air adalah bentuk nyata kegagalan pemerintahan yang seharusnya “amanah”. Sudah waktunya pemimpin bersuara lantang: Probolinggo butuh airnya sendiri, sebelum membaginya dengan siapa pun.
Referensi
- Program 100 Hari Bersama OPD Pemerintah Kabupaten Probolinggo (2024).
- RMOL Jatim. (2025). Muslimat NU Probolinggo Soroti Rencana Lumajang Ambil Air dari Ronggojalu. Diakses dari: https://www.rmoljatim.id/muslimat-nu-probolinggo-soroti-rencana-lumajang-ambil-air-dari-ronggojalu-harus-dikaji-ulang
- iNews Probolinggo. (2025). DPRD Probolinggo Tolak Wacana Bupati Lumajang Ambil Air Bersih dari Ronggojalu. Diakses dari: https://probolinggo.inews.id/amp/585737/dprd-probolinggo-tolak-wacana-bupati-lumajang-untuk-menyambung-air-bersih-dari-ronggojalu
- BeritaKata.id. (2025). Tanggapan DPRD Probolinggo Terkait Sumber Air Ronggojalu. Diakses dari: https://beritakata.id/2025/04/21/tanggapan-anggota-dprd-kabupaten-probolinggo-terkait-pemanfaatan-sumber-air-ronggojalu-yang-disinggung-bupati-lumajang
- Keterangan Bupati Probolinggo dalam berbagai forum publik lokal, 2025.
- UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
- Peraturan Pemerintah No. 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.
- KLHS RPJMD Kabupaten Probolinggo
Post a Comment