Kalimat yang Menggemparkan Probolinggo: ‘Jangan Ternak LSM dan Media’” Diksi “Ternak LSM” dan Etika Komunikasi Kepala Daerah
Kalimat yang Menggemparkan Probolinggo: ‘Jangan Ternak LSM dan Media’”
Diksi “Ternak LSM” dan Etika Komunikasi Kepala Daerah
Pernyataan kontroversial Bupati Probolinggo, dr. Mohamad Haris Damanhuri, tentang “jangan menernak LSM dan media” tengah menjadi sorotan publik. Dalam sebuah acara pelantikan pejabat Eselon II, sang bupati melontarkan imbauan yang tak lazim: “Jangan sampai ada pejabat yang menernak LSM dan media. Bila ingin menyerang saya, saya selalu siap dan tidak akan mundur” . Ucapan bernada keras ini seketika viral dan dinilai menyinggung banyak pihak, terutama kalangan jurnalis dan aktivis sosial . Meskipun Bupati Haris telah mengklarifikasi maksud pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada insan pers dan LSM , jejak polemik ini mengundang pertanyaan mendasar: di mana letak etika komunikasi publik seorang kepala daerah ketika diksi yang dipilih justru melukai mitra-mitra demokrasi?
Siapa “Ternak LSM” yang Dimaksud?
Pertama-tama, perlu dipertanyakan secara tajam: siapa sebenarnya yang dimaksud Bupati dengan istilah “ternak LSM dan media” tersebut? Secara tekstual, kata “ternak” identik dengan hewan peliharaan atau komoditas yang dapat dipelihara untuk keuntungan. Ketika dilekatkan pada LSM dan media, istilah ini seolah menempatkan kelompok masyarakat sipil dan pers—pilar penting demokrasi—setara dengan objek yang bisa “dipelihara” atau dimanipulasi. Bupati Haris berdalih bahwa ucapannya merupakan teguran keras bagi oknum pejabat yang memanfaatkan media atau LSM demi kepentingan pribadi, bukan bertujuan menyamakan insan pers dan aktivis dengan hewan ternak . Namun, jika memang sasarannya adalah oknum pejabat internal, mengapa diksi yang digunakan justru terkesan merendahkan pihak eksternal (media dan LSM)?
Alih-alih menegur bawahan secara spesifik, pilihan kata ini justru menggeneralisasi dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Apakah Bupati bermaksud mengkritik praktik sebagian pejabat yang “memelihara” media atau LSM tertentu untuk tameng pribadi? Jika ya, bukankah semestinya teguran itu disampaikan tanpa perlu menggunakan metafora ternak yang kasar? Menyematkan istilah tersebut dalam forum resmi mengaburkan batas antara kritik terhadap oknum dan penghinaan terhadap institusi pers serta LSM secara keseluruhan. Ujungnya, publik pun bertanya-tanya: LSM dan media mana yang dianggap “ternak”, dan oleh siapa? Apakah ada nama-nama atau kejadian konkret yang melatarbelakangi pernyataan itu, atau justru ungkapan tersebut lahir dari praduga yang menggeneralisasi semua media dan LSM sebagai alat kendali pejabat? Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka karena seorang kepala daerah semestinya berhati-hati agar kritiknya tepat sasaran, bukan malah menyebarkan kecurigaan tak berdasar terhadap elemen masyarakat sipil.
Pernyataan Bupati Probolinggo tersebut juga berkonotasi seakan-akan media dan LSM adalah ancaman yang perlu dihadapi. Kalimat lanjutan “Bila ingin menyerang saya, saya selalu siap dan tidak akan mundur” memberi kesan bahwa keberadaan LSM atau media yang kritis dianggap sebagai pihak penyerang yang harus diantisipasi. Padahal, di negara demokratis, sorotan media dan kontrol LSM bukanlah serangan pribadi, melainkan bagian dari mekanisme check and balance yang sehat. Jika seorang pemimpin daerah secara terbuka menyiapkan diri “diserang” oleh kritik, hal itu mengisyaratkan pola pikir defensif alih-alih apresiatif terhadap masukan eksternal. Di sinilah letak persoalannya: kata-kata yang terlontar mencerminkan cara pandang seorang pejabat terhadap kemitraan dengan masyarakat sipil.
Merusak Relasi Pemerintah dan Masyarakat Sipil
Tak dapat dipungkiri, ucapan bernada peyoratif seperti “ternak LSM dan media” membawa dampak negatif pada relasi antara pemerintah daerah dan elemen masyarakat sipil. Kalangan jurnalis dan aktivis merasa tersinggung, bahkan menilai ekspresi Bupati Haris tersebut sebagai bentuk komunikasi yang kurang bijak dalam forum resmi . “Ucapan seperti itu menggiring opini seolah LSM dan media adalah alat tekanan yang bisa ‘diternakkan’. Padahal LSM memiliki fungsi strategis dalam mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap transparan dan akuntabel,” tegas H. Luthfi Hamid, Ketua LSM Aliansi Masyarakat Peduli Probolinggo . Keresahan ini dapat dimengerti: frase “ternak LSM” berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap peran lembaga swadaya dan insan pers. Seolah-olah, semua kerja advokasi dan jurnalistik mudah direduksi menjadi alat peliharaan pejabat tertentu.
Dari sudut pandang etika komunikasi publik, seorang kepala daerah semestinya menjadi teladan dalam menjalin hubungan konstruktif dengan masyarakat sipil. Media dan LSM adalah mitra kritis pemerintah, bukan musuh . Mereka berfungsi sebagai mata dan telinga publik, memastikan roda pemerintahan berjalan di rel yang semestinya. Bila ada oknum media atau LSM yang menyeleweng atau “bermain mata” dengan pejabat demi keuntungan pribadi, hal itu jelas merupakan penyimpangan yang harus ditindak, namun caranya bukan dengan menyudutkan keseluruhan institusi. Pernyataan emosional yang menyamaratakan cenderung mematikan fungsi kontrol sosial karena melemahkan legitimasi kritik . Tanpa kritik dan pengawasan independen, pemerintah justru rentan kehilangan arah kebijakan yang berpihak pada rakyat . Ucapan sang bupati, jika dibiarkan tanpa klarifikasi, bisa berdampak membungkam suara kritis: pejabat lain mungkin enggan bermitra dengan LSM atau media karena takut dicurigai “memelihara ternak”. Sementara di sisi lain, aktivis dan jurnalis yang semestinya diajak dialog malah dijauhi atau dicap negatif. Inilah kerugian ganda bagi iklim demokrasi lokal.
Selain itu, relasi pemerintah dengan masyarakat sipil di Probolinggo yang selama ini diklaim “baik dan penuh kerja sama” bisa tercoreng gara-gara satu kali salah ucap. Trust atau kepercayaan perlu dijaga dengan sensitivitas tinggi. Sebuah kalimat yang terlanjur terucap di ruang publik tak bisa ditarik kembali; dampaknya menjalar lebih cepat daripada klarifikasi. Meskipun Bupati Haris menegaskan tak ada niat merendahkan dan menyebut hubungan dengan media/LSM tetap bersahabat , pernyataan yang kadung viral tersebut telanjur menanam kecurigaan. Elemen masyarakat sipil bisa mempertanyakan: benarkah kami dianggap mitra, bila dalam slip of the tongue justru disamakan dengan ternak?
Kebebasan pers dan eksistensi LSM di Indonesia dilindungi oleh undang-undang . Ini berarti, pemerintah daerah berkewajiban menjaga hubungan yang konstruktif, terbuka terhadap kritik, dan siap berdialog . Ucapan yang bernada konfrontatif jelas tidak membantu spirit keterbukaan tersebut. Bila pejabat publik mulai melihat kritik sebagai ancaman personal, yang tergerus bukan hanya hubungan baik dengan masyarakat sipil, tapi juga mutu tata kelola pemerintahan. Kritik yang sehat sejatinya merupakan vitamin bagi pemerintah untuk terus berbenah. Menghadapinya dengan mentalitas defensive atau retorika perang (diserang-menyerang) hanya akan menciptakan jarak antara pemerintah dan warga yang diayominya.
Pelajaran bagi Etika Komunikasi Publik
Gaya komunikasi tajam memang kerap mewarnai panggung politik lokal. Namun ketajaman berbeda dengan kekurangpekaan. Kasus “ternak LSM” ini hendaknya menjadi cermin dan pelajaran penting bagi seluruh pejabat daerah tentang arti penting etika dalam komunikasi publik . Seorang kepala daerah, apalagi bergelar dokter dan disapa “Gus” yang biasanya lekat dengan kesantunan, semestinya mampu menyampaikan pesan tegas tanpa harus melukai martabat pihak lain. Kritik internal bisa disampaikan secara terukur, tanpa menimbulkan kegaduhan eksternal.
Langkah cepat Bupati Probolinggo untuk meminta maaf dan memberi klarifikasi patut diapresiasi sebagai itikad baik meredam polemik . Itu menunjukkan bahwa beliau, setidaknya setelah tersadar, memiliki kesediaan mendengar protes publik dan mau mengoreksi pemaknaan ucapannya. Meski demikian, permintaan maaf tidak serta-merta menghapus dampak dari kata yang telanjur melukai. Ke depan, yang lebih utama adalah pembuktian dalam sikap. Bila Bupati benar menghormati pers dan LSM sebagai pilar demokrasi sebagaimana ucapannya , maka hal itu harus tampak dalam tindak-tanduk: merangkul jurnalis dan aktivis sebagai mitra dialog, bukan sebagai kelompok yang dicurigai. Seperti disampaikan Luthfi Hamid dari AMPP, kalau memang Bupati siap dikritik, buktikan dengan membuka ruang diskusi .
Terakhir, marilah mengambil hikmah. Insiden ini menggarisbawahi betapa krusialnya memilih diksi yang tepat bagi pejabat publik. Kekuatan kata seorang pemimpin sangat besar pengaruhnya—ia bisa mengayomi, tapi bisa pula melukai. Dalam konteks hubungan pemerintah, media, dan masyarakat sipil, diperlukan retorika yang elegan namun tegas, kritIS namun tetap menghormati. Tempo dulu menulis editorial dengan ketajaman yang elegan; kritik disampaikan tanpa perlu mengumbar cemoohan. Gaya itulah yang selayaknya diteladani: substansi kritis tersampaikan, etika komunikasi pun terjaga. Ucapan “ternak LSM” dari Bupati Probolinggo sudah terlanjur menjadi catatan negatif. Semoga para pemimpin daerah lain dapat mengambil pelajaran, agar ke depan tak ada lagi retorika kuasa yang menggerus kepercayaan publik. Seorang kepala daerah harus mampu menjaga lidahnya seperti ia menjaga kebijakan: dengan integritas, kehati-hatian, dan rasa hormat pada prinsip-prinsip demokrasi. Etika komunikasi publik bukan sekadar tata krama, melainkan fondasi terbangunnya hubungan saling percaya antara pemerintah dan masyarakatnya .
Dengan demikian, kritik tajam terhadap pernyataan Bupati Probolinggo ini bukan semata untuk menyudutkan pribadi, tetapi untuk mengingatkan kita semua: bahwa jabatan publik datang bersama tanggung jawab besar dalam setiap kata yang diucapkan. Terlebih di era keterbukaan informasi, microskop publik selalu terarah pada para pemimpinnya. Ibarat pepatah, mulutmu harimaumu. Jika tak hati-hati, yang terkaman bukan hanya diri sendiri, melainkan juga hubungan baik antara pemerintah dan elemen masyarakat sipil yang seharusnya saling menguatkan demi kemaslahatan bersama.

Comments
Post a Comment