Dari Sarung ke Seragam: Ketika Gus dan Lora Menjadi Bupati dan Wakil Bupati
Konoha Kulon –
Di pesantren, mereka dipanggil Gus dan Lora. Dua gelar prestisius di lingkungan pesantren besar yang sarat kharisma dan tradisi. Gus berasal dari salah satu pesantren tertua di wilayah timur, sementara Lora adalah keturunan langsung pengasuh pondok modern paling berpengaruh di kawasan pesisir. Dua figur yang dulu dikenal karena keteduhan dan kebijaksanaannya kini menjelma menjadi Bupati dan Wakil Bupati Konoha Kulon.
Panggung mereka bergeser. Dari sajadah ke seragam dinas. Dari membimbing santri menjadi pemegang komando anggaran daerah. Dari tempat menyemai ilmu menjadi tempat membuat keputusan politik.
Dan di titik ini, ironi mulai terlihat.
Ketika kritik datang—tentang infrastruktur yang belum merata, tentang ASN yang bekerja setengah hati, atau tentang arah kebijakan yang mulai kehilangan roh keadilan—reaksinya tidak lagi seperti di pesantren. Bukan dibalas dengan diskusi atau klarifikasi. Kritik justru dihadiahi label: “barisan sakit hati”, “barisan 20 persen”. Sebuah upaya mengecilkan suara-suara yang tidak selaras.
Tak sedikit yang menyebut ini sebagai era baru “buzzer bersarung”. Simbol-simbol keagamaan dibungkus rapi untuk menangkis kritik, bahkan menyerang balik pengkritik. Ironis, mengingat keduanya lahir dari lembaga yang sejak dulu menjunjung tinggi adab berdialog.
Padahal, dalam Pilkada 2024 lalu, meski menang telak dengan 80,6% suara, data menunjukkan hanya 627.691 dari 872.218 pemilih yang hadir ke TPS. Artinya, 244.527 warga memilih untuk tidak memilih. Ditambah 118.827 suara untuk lawan politik mereka, ada lebih dari 360 ribu warga yang tak menjatuhkan pilihan pada pasangan pemenang.
Apakah mereka semua sakit hati? Apakah kritik mereka layak diabaikan?
Seorang alumni pondok tempat Gus menimba ilmu menuturkan dengan getir,
“Dulu beliau mengajarkan kami makna ikhlas dan tawadhu’. Tapi kini, kritik kecil pun dianggap makar. Dianggap iri. Kami bahkan dituding mencemari nama pesantren.”
Pergeseran ini menandai satu kenyataan pahit: kekuasaan mengubah posisi. Dari pengayom menjadi penguasa. Dari pendidik menjadi pengarah kebijakan. Dan bila tak hati-hati, dari pemimpin menjadi simbol dominasi.
Di Kabupaten Konoha Kulon yang plural, masyarakat bukan hanya terdiri dari santri dan alumni pesantren. Ada petani, nelayan, pegawai, pedagang kecil, pemuda kritis, hingga warga yang tak punya afiliasi keagamaan yang kuat. Tugas bupati dan wakil bupati bukan menjaga popularitas di kalangan loyalis, tapi merawat kepercayaan seluruh lapisan warga.
Sebab demokrasi tidak sekadar tentang siapa yang menang, tapi tentang bagaimana yang menang bersedia mendengar.
Gus dan Lora memang lahir dari pesantren besar. Tapi hari ini, mereka bukan hanya gus dan lora lagi. Mereka adalah Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Konoha Kulon. Maka layaklah mereka dikritik—dengan adab, tapi juga dengan tegas.
Karena kebenaran tak selalu berdiri di belakang 80%.
Alfakirbukanajudan (bukan santri bukan pemilih loyalis hanya segelintis manusia yang ingin kebenaran benar benar ada bukan kesalahan yang dibenarkan karena mayoritas)
Comments
Post a Comment