Bupati yang Baperan, Demokrasi yang Terperosok
Di Konoha Kulon, jabatan bupati semestinya menjadi ruang kepemimpinan, bukan panggung perasaan. Namun dalam praktiknya, kepemimpinan Aries Imanuel justru memperlihatkan arah sebaliknya. Bukannya menunjukkan keteguhan sebagai negarawan yang tahan kritik, ia justru tampil sebagai sosok yang mudah tersinggung—bahkan terhadap suara-suara dari dalam lingkaran timnya sendiri.
Isu yang berkembang di internal birokrasi menyebutkan bahwa kritik kini dianggap sebagai gangguan terhadap “fokus pembangunan.” Siapa pun yang melayangkan pertanyaan atau menyatakan ketidaksetujuan langsung dicap sebagai pembuat keributan. Kalimat seperti “jangan ganggu bupati, beliau sedang fokus membangun” kini menjadi semacam dogma baru yang membungkam partisipasi. Bila ini dibiarkan, maka demokrasi di Konoha Kulon bukan hanya berada di ujung tanduk—ia telah terperosok ke dalam jurang otoritarianisme terselubung.
Lebih runyam lagi, nilai-nilai khas pesantren kini diseret masuk ke ruang birokrasi sipil. ASN diwajibkan untuk ikut sholat berjamaah sebagai bentuk loyalitas struktural. Apakah sholat berjamaah itu baik? Tentu. Tapi saat ekspresi spiritual dijadikan instrumen kontrol birokrasi, batas antara agama dan negara menjadi kabur. Ini bukan pondok pesantren cabang. Ini institusi pemerintahan. Dan negara tidak boleh menjadikan iman sebagai syarat kepatuhan administratif.
Di sisi lain, kebijakan populis yang bersifat kosmetik justru terus dipertontonkan. Aries Imanuel sering terlihat menunggang motor trail ke pelosok desa, membaur dengan warga, seolah sedang syuting iklan kepemimpinan. Namun di balik adegan-adegan merakyat itu, aspirasi warga justru kerap tidak ditindaklanjuti. Yang dibangun bukan solusi, tapi citra. Yang dijalankan bukan pelayanan publik, tapi panggung pencitraan tanpa henti.
Kondisi semakin mengkhawatirkan ketika aroma manipulasi politik mulai tercium jelas. Dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD, Firlis Tetoles—anggota DPRD dari Partai Bintang Sembilan—menolak sebuah alokasi anggaran yang dinilai janggal dan tidak transparan. Sikap ini menjadi penting karena Partai Bintang Sembilan sendiri dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Konoha Kulon.
Namun drama berubah saat rapat paripurna digelar. Bupati tidak hadir. Sebagai gantinya, Wakil Bupati mengambil alih posisi pimpinan rapat. Yang menarik, Wakil Bupati tersebut bukan hanya pengganti administratif, tapi juga Ketua DPC Partai Bintang Sembilan—partai tempat Firlis bernaung. Dengan hadirnya sang Wakil Bupati, yang notabene adalah bos langsung Firlis secara struktural dan politik, ruang penolakan itu pun lenyap. Firlis tak lagi memiliki keleluasaan untuk mempertahankan sikap kritisnya.
Ini bukan kebetulan biasa. Ini adalah desain politik yang terstruktur—menggantikan Bupati dengan Wakil yang memiliki kendali penuh atas partai, demi meredam suara berbeda dari dalam. Ketika wakil eksekutif sekaligus ketua partai memimpin forum yang seharusnya menjadi ruang independen legislatif, maka batas-batas demokrasi telah dilanggar dengan sadar.
Tidak berhenti di situ, dalam forum yang sama, anggota DPRD lain dari Partai Grosir dan Ecer menyebut ada hal yang menggelikan. Dalam dokumen perubahan anggaran, tertulis bahwa terjadi penurunan anggaran. Namun secara angka, justru sebaliknya. Semula tercatat total anggaran sebesar 2.392.882.753.479, dan setelah perubahan, anggaran justru meningkat menjadi 2.436.343.596.298.
Ironisnya, angka “penurunan” yang sebenarnya naik ini justru dibacakan dengan penuh keyakinan oleh perwakilan dari Partai Burung Kutilang Putih Merona—partai penguasa yang saat ini sedang naik daun. Tanpa penjelasan yang memadai, publik semakin sulit percaya pada narasi “transparansi” dan “perencanaan yang matang.” Yang tersisa hanyalah kebingungan yang disengaja.
Rakyat melihat ini bukan sebagai dinamika biasa, tapi sebagai bentuk pembungkaman oposisi internal dan pengondisian parlemen. Ketika legislatif kehilangan keberaniannya untuk berbeda, dan eksekutif memakai struktur partai untuk mengontrol parlemen, maka demokrasi hanya tinggal seremonial belaka. DPRD tak lagi menjadi rumah debat, melainkan sekadar panggung boneka.
Bupati Aries Imanuel perlu sadar: menjadi pemimpin bukan hanya tentang membangun jalan dan memimpin upacara. Itu soal sepele. Tantangan utama seorang kepala daerah adalah merawat demokrasi, mendengar suara-suara yang berbeda, dan membuka ruang kritik tanpa ketakutan. Konoha Kulon bukan pesantren cabang, dan rakyatnya bukan santri yang wajib nurut tanpa bertanya.
Kami dari Tim Alfakir tidak anti pembangunan. Tapi kami menolak kekuasaan yang anti kritik. Kami tidak ingin masa depan Konoha Kulon ditentukan oleh segelintir orang yang rapuh mendengar perbedaan. Ini waktunya bekerja, bukan berakting. Ini saatnya membuka telinga, bukan membungkam yang bersuara.
Jika semua kritik dianggap sebagai ancaman, maka jangan salahkan kami jika mulai pesimis pada masa depan demokrasi di Konoha Kulon.
Comments
Post a Comment