APBD Probolinggo 2024: Kelebihan Belanja, Kekurangan Transparansi

 

APBD Probolinggo 2024: Kelebihan Belanja, Kekurangan Transparansi

Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten Probolinggo Tahun Anggaran 2024 kembali menyuguhkan ironi lama: realisasi tinggi tidak menjamin efektivitas anggaran. Meski laporan mencatat realisasi pendapatan 100,55% dan belanja 94,15%, namun defisit tetap terjadi sebesar Rp119,1 miliar. Ini bukan sekadar angka, tapi cerminan kebijakan fiskal yang belum efisien dan minim inovasi .

Pemerintah Kabupaten Probolinggo mengandalkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya sebesar Rp292,1 miliar untuk menutup defisit, tetapi SiLPA itu sendiri turun 40,68% dibanding tahun sebelumnya—dari Rp292,1 miliar menjadi Rp173,3 miliar . Artinya, daerah semakin tergantung pada ‘tabungan masa lalu’ alih-alih memperbaiki struktur pendapatan jangka panjang.

Lebih lanjut, meski Pendapatan Asli Daerah (PAD) naik 6,98% dibanding 2023, peningkatan ini masih bergantung pada sektor-sektor tradisional yang mulai stagnan. Beberapa OPD mengalami gagal target PAD akibat lemahnya penagihan, buruknya regulasi tarif, serta minimnya inovasi layanan publik. Contohnya, Dinas Perhubungan tidak dapat memaksimalkan retribusi terminal karena “tidak ada lagi kendaraan masuk terminal”, sementara Dinas Pariwisata kehilangan pemasukan akibat proyek revitalisasi rest area .

Dari sisi belanja, belanja modal hanya terealisasi 88,89%, yang mengindikasikan lemahnya daya serap dan pelaksanaan proyek pembangunan. Belanja tidak terduga hanya terealisasi 34,54%, menunjukkan ketidaksiapan merespons kebutuhan darurat . Di sisi lain, belanja operasi tetap mendominasi sebesar Rp1,76 triliun, atau 93,68% dari anggaran. Artinya, alokasi masih bias untuk sektor rutin daripada pembangunan strategis.

Lebih krusial lagi, catatan Raperda tidak banyak mengulas evaluasi kinerja penggunaan anggaran secara substansial. Tidak ada informasi transparan mengenai output dan outcome dari belanja tersebut. Apakah terjadi peningkatan kesejahteraan? Apakah kemiskinan benar-benar menurun sesuai target? Bahkan dalam bagian Indikator Kinerja Utama (IKU), persentase penduduk miskin hanya turun tipis dari 16% ke 15,75% —penurunan yang nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan total belanja triliunan rupiah.

Kritik lainnya muncul dari catatan pengelolaan aset dan piutang daerah. Terdapat penghapusan aset tetap (tanah) senilai miliaran rupiah tanpa penjelasan rinci tentang optimalisasi nilai ekonominya . Begitu pula dengan retribusi yang sering tidak sesuai perda, menjadi bukti lemahnya kontrol dan pendampingan teknis.


Kesimpulan: Butuh Reformasi Bukan Sekadar Laporan

Raperda ini memang sah secara administratif, tapi secara substansi masih jauh dari harapan publik. Rapor fiskal Probolinggo 2024 menunjukkan stabilitas semu, bukan keberhasilan riil. Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap penyusunan dan pelaksanaan anggaran, termasuk:
1. Reformasi PAD berbasis potensi lokal dan digitalisasi layanan;
2. Evaluasi efektivitas belanja secara berbasis kinerja (performance-based budgeting);
3. Peningkatan transparansi publik melalui dashboard realisasi APBD yang bisa diakses masyarakat;
4. Audit tematik oleh BPK/BPKP untuk sektor-sektor yang gagal mencapai target PAD dan belanja;
5. Pemberdayaan sektor pengawasan legislatif dan partisipasi warga dalam proses pertanggungjawaban APBD.

Jika tidak, APBD Probolinggo akan terus menjadi dokumen anggaran yang ‘terlihat sibuk’, namun tak pernah benar-benar menjawab kebutuhan rakyat.


Comments

Popular posts from this blog

Krucil Tak Tersentuh Janji: Probolinggo Ganti Pemimpin atau Hanya Ganti Pemain?

Rangkap Jabatan di Lingkar Pemerintah Probolinggo: Ketika Kekuasaan Tak Lagi Terbagi

Politisasi Bansos diprobolinggo:Bantuan Provinsi, Panggung Bupati