APBD Dibakar untuk Jamu Elite: RAPERDA 2025, Musibah yang Dianggarkan


Kabupaten Probolinggo kembali mempertontonkan absurditas fiskal melalui RAPERDA Pertanggungjawaban APBD Tahun Anggaran 2024. Pemerintah daerah—di bawah kepemimpinan bupati baru—membanggakan capaian realisasi anggaran, tapi gagal menjawab pertanyaan utama: mengapa rakyat tetap hidup dalam kesulitan, padahal triliunan sudah dihabiskan?



Angka Realisasi Nyaris Sempurna, Tapi Kosong Makna


RAPERDA mencatat pendapatan Rp2,45 triliun dan belanja Rp2,57 triliun. Defisit Rp119,1 miliar tertutup oleh sisa lebih pembiayaan (SiLPA) tahun sebelumnya, dengan sisa Rp173 miliar di akhir tahun . Pemerintah mengklaim sukses serapan anggaran hingga 94,15% .


Tapi bagi publik, pertanyaannya sederhana: ke mana larinya triliunan itu? Mengapa angka-angka sempurna tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan? Jalan desa masih rusak, puskesmas kekurangan dokter, dan angka stunting tetap tertinggi di Jawa Timur.



Visi Misi Kepala Daerah Jadi Topeng Belanja Elitis


RAPERDA menyebut “pemenuhan visi dan misi kepala daerah” sebagai prioritas belanja kedua . Ini menjadi dalih untuk mengarahkan anggaran ke program-program “unggulan” tanpa transparansi, tanpa pengukuran dampak, dan tanpa keberanian menyentuh persoalan struktural.


Program pelatihan seremonial, pengadaan barang habis pakai, dan perjalanan dinas ke luar kota justru diserap nyaris 100%. Di sisi lain, belanja tidak terduga yang seharusnya membantu krisis rakyat hanya terserap 34,54% . Ini bukan sekadar pemborosan, tapi indikasi bahwa RAPERDA telah menjadi instrumen legalisasi penghisapan APBD untuk kepentingan elite.



Gagal PAD, Lolos Tanpa Evaluasi


Beberapa dinas gagal memenuhi target PAD, seperti Dinas Perhubungan, Dinas Koperasi dan UMKM, hingga Dinas Pariwisata . Alasan klasik yang diajukan: terminal sepi, foodcourt tak laku, retribusi nihil karena revitalisasi. Tapi tak satu pun dokumen menyebut siapa yang bertanggung jawab. Tak ada sanksi, tak ada evaluasi. Artinya, kegagalan ini ditoleransi. Dan dalam banyak kasus, kegagalan ini adalah kegagalan yang dirancang—karena sejak awal proyeknya cacat perencanaan.



Rakyat Kembali Jadi Korban Ritual Anggaran

• Kemiskinan hanya turun dari 17,19% ke 16,45%, meski triliunan digelontorkan.

• Stunting tetap yang tertinggi di Jatim.

• Angka kematian ibu dan bayi tetap memprihatinkan .

• Pendidikan dan layanan dasar tetap tertinggal di pedalaman.


Di saat yang sama, perjalanan dinas, belanja makanan-minuman rapat, dan honor narasumber justru terus naik. Bahkan ada kegiatan “bimbingan teknis” dengan realisasi 100% tapi tanpa laporan output atau dampak. Uang rakyat dipakai untuk jamu elite, bukan jamu rakyat.


Kesimpulan: RAPERDA Ini Bukan Laporan, Tapi Dakwaan


Jika DPRD hanya mengesahkan RAPERDA ini tanpa koreksi, maka lembaga legislatif telah berubah menjadi tukang stempel pembenaran elite. Dokumen ini tak layak disebut laporan pertanggungjawaban, karena tak ada yang sungguh-sungguh dipertanggungjawabkan.


APBD 2024 adalah musibah yang dirancang, dan RAPERDA 2025 adalah prasastinya.


Sudah saatnya masyarakat sipil bicara. Jika tidak, pembusukan ini akan terus berulang: anggaran dijadikan pesta tertutup untuk segelintir orang, dan rakyat hanya diberi tiket untuk menonton kehancurannya.

 penulis : alfakir herlambang

editor : alfakir bayu seto

 

Comments

Popular posts from this blog

Krucil Tak Tersentuh Janji: Probolinggo Ganti Pemimpin atau Hanya Ganti Pemain?

Rangkap Jabatan di Lingkar Pemerintah Probolinggo: Ketika Kekuasaan Tak Lagi Terbagi

Politisasi Bansos diprobolinggo:Bantuan Provinsi, Panggung Bupati