Monday, April 28, 2025

Politisasi Bansos diprobolinggo:Bantuan Provinsi, Panggung Bupati


 Oleh: alfakirbukanajudan

Dalam dunia pemerintahan modern, program bantuan sosial (bansos) seharusnya menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat, bukan ajang pencitraan politik. Sayangnya, dalam kasus penyaluran Bantuan Sosial Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Kabupaten Probolinggo baru-baru ini, terjadi penyimpangan serius dari prinsip tersebut. Bantuan UEP, yang merupakan program resmi Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk pengentasan kemiskinan ekstrem, justru diolah menjadi panggung politik kepala daerah.


Bantuan Provinsi, Tetapi Diakui Secara Simbolik oleh Kabupaten


Dalam seremoni yang digelar di Pendopo Kecamatan Besuk, Bupati Probolinggo tampil seolah menjadi figur sentral pemberi bantuan. Padahal, jika ditelusuri secara substansial, program ini adalah inisiatif dan pendanaan murni dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, bukan dari pemerintah kabupaten. Ini jelas merupakan bentuk politisasi program sosial, di mana pejabat lokal berupaya memanen keuntungan citra pribadi dari program yang bukan inisiatifnya.


Fenomena ini sejalan dengan kritik James Ferguson dalam The Anti-Politics Machine (1990), yang menunjukkan bagaimana program pembangunan sering dipakai untuk memperkuat otoritas politik ketimbang untuk benar-benar memberdayakan masyarakat.


Ketidakjelasan Prosedural: Petugas PKH Tidak Dilibatkan


Lebih parah lagi, ditemukan fakta lapangan bahwa petugas Program Keluarga Harapan (PKH) di tingkat kecamatan tidak mengetahui kapan program ini diajukan, siapa yang mengusulkan, atau bagaimana kriteria calon penerima disusun. Padahal, petugas PKH adalah aktor kunci dalam pengelolaan data kemiskinan nasional melalui sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).


Ketiadaan koordinasi dengan lini teknis ini menimbulkan pertanyaan serius tentang validitas dan keadilan seleksi penerima bantuan. Tanpa mekanisme yang jelas dan tanpa pelibatan aparat teknis, distribusi bantuan rawan salah sasaran, manipulatif, bahkan berpotensi melanggengkan ketidakadilan sosial.


Sebagaimana dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky (1973) dalam Implementation, kegagalan komunikasi antara perancang program dan pelaksana lapangan akan berujung pada kegagalan implementasi kebijakan publik.


Risiko Disinformasi dan Instrumentalisasi Politik


Dengan mengklaim program bantuan sebagai buah tangan kepala daerah, terjadi disinformasi publik. Masyarakat awam diarahkan untuk percaya bahwa bantuan ini berasal dari kebijakan lokal, bukan dari upaya Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Ini membajak ruang apresiasi publik terhadap otoritas provinsi, sekaligus mempersempit ruang evaluasi objektif terhadap program sosial.


Dalam kacamata good governance (UNDP, 1997), tindakan ini melanggar prinsip dasar transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas administrasi publik.


Membajak Bantuan, Membajak Masa Depan


Jika pola ini terus berulang, maka:

Program bantuan sosial akan kehilangan orientasi substantifnya sebagai alat pengentasan kemiskinan.

Publik akan semakin apatis karena bansos dipersepsikan sebagai alat kekuasaan, bukan hak sosial.

Kemiskinan ekstrem tidak akan pernah benar-benar diatasi, hanya direkayasa untuk kebutuhan kosmetik politik jangka pendek.


Dalam jangka panjang, politisasi bantuan akan memperdalam distrust terhadap institusi pemerintahan lokal, memperlemah kohesi sosial, dan menggerogoti cita-cita keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.


Penutup: Saatnya Meluruskan Narasi


Masyarakat Kabupaten Probolinggo berhak mengetahui fakta apa adanya: bantuan UEP adalah program Pemerintah Provinsi Jawa Timur, bukan prestasi personal kepala daerah. Yang dibutuhkan saat ini adalah:

Kejujuran politik dalam komunikasi publik

Keterlibatan penuh aparat teknis seperti PKH dan TKSK dalam seluruh tahap program

Audit transparan atas proses seleksi penerima bansos

Reorientasi program sosial ke arah pemberdayaan nyata, bukan sekadar seremoni


Sebagaimana ditegaskan oleh Chambers (1994) dalam Whose Reality Counts?, pembangunan sejati hanya dapat terjadi bila realitas masyarakat yang diutamakan, bukan realitas buatan elit politik.


Jika tidak ada koreksi serius, maka bantuan sosial akan terus menjadi alat politik, bukan alat perubahan.



Referensi:

Ferguson, J. (1990). The Anti-Politics Machine. University of Minnesota Press.

Pressman, J. L., & Wildavsky, A. (1973). Implementation: How Great Expectations in Washington Are Dashed in Oakland. University of California Press.

UNDP. (1997). Governance for Sustainable Human Development. United Nations Development Programme.

Chambers, R. (1994). Whose Reality Counts? Putting the First Last. Intermediate Technology Publications.

No comments:

Post a Comment