Sunday, April 27, 2025

Air Ronggojalu dan Narasi Tabayyun: Menimbang Ulang Transparansi Pemerintahan Daerah

Dalam beberapa pekan terakhir, Kabupaten Probolinggo diguncang oleh isu sensitif terkait rencana penyaluran sumber air Ronggojalu ke Kabupaten Lumajang. Sumber air Ronggojalu, yang selama ini menjadi penopang kebutuhan air bersih masyarakat Probolinggo, menjadi pusat perhatian setelah beredar kabar bahwa sebagian debitnya akan dimanfaatkan untuk kebutuhan wilayah tetangga. Isu ini memicu respons keras dari masyarakat, tokoh agama, dan legislatif daerah, yang mempertanyakan dasar hukum, mekanisme, serta dampak ekologis dan sosial dari kebijakan tersebut.


Dalam konteks memanasnya perdebatan publik ini, Bupati Probolinggo melalui akun resminya mengeluarkan seruan untuk membudayakan tabayyun dalam menghadapi derasnya arus informasi di media sosial. Seruan tersebut menekankan pentingnya klarifikasi sebelum mempercayai dan menyebarkan informasi guna menghindari fitnah, adu domba, dan perpecahan sosial. Secara normatif, ajakan ini adalah sebuah nilai moral yang tidak bisa dibantah, karena sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam bermedia. Namun demikian, secara substansial, langkah tersebut mengandung sejumlah problematika serius bila dikaitkan dengan tuntutan keterbukaan informasi dan akuntabilitas publik.


Pertama, isu air Ronggojalu bukanlah sekadar persoalan “kabarnya”, melainkan merupakan fakta lapangan yang telah direspons secara resmi oleh berbagai elemen masyarakat. DPRD Kabupaten Probolinggo melalui beberapa anggotanya, termasuk dari Fraksi PKB dan Fraksi lain, telah menyuarakan penolakan terhadap rencana tersebut. Bahkan organisasi masyarakat sipil seperti Muslimat NU Probolinggo (RMOL Jatim, 2025) turut menuntut agar wacana pemanfaatan air ini dikaji ulang secara transparan dan partisipatif. Ketika kritik dan aspirasi ini muncul, mereka tidak berbicara dalam ruang kosong, melainkan berdasarkan realitas yang terkonfirmasi.


Kedua, dalam logika pemerintahan yang demokratis, respon terhadap isu sebesar ini semestinya bukan sekadar imbauan moral untuk “menyaring informasi”, melainkan berupa penyampaian data dan fakta yang lengkap kepada publik. Pemerintah berkewajiban menjelaskan:


  • Apa dasar hukum dari rencana penyaluran air Ronggojalu?
  • Bagaimana kajian teknis dan lingkungan terhadap dampak pengalihan air tersebut?
  • Apakah ada jaminan bahwa pasokan air untuk masyarakat Probolinggo tidak akan terganggu?
  • Apakah sudah dilakukan konsultasi publik secara memadai sebelum pengambilan keputusan?



Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci ini, narasi tabayyun berpotensi menjadi alat defleksi politik (political deflection), alih-alih menjadi instrumen membangun kepercayaan publik.


Ketiga, dalam era keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap warga negara berhak mengetahui kebijakan pemerintah yang berdampak langsung terhadap kehidupan mereka. Sumber daya air, yang termasuk dalam kategori common goods, tidak boleh diputuskan penggunaannya tanpa partisipasi aktif masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.


Keempat, secara ekologis dan sosial, pengalihan air lintas wilayah berpotensi menimbulkan konflik sumber daya, sebagaimana yang diulas dalam berbagai kajian akademik tentang water governance (Mehta, 2014). Probolinggo, dengan latar belakang kerentanan iklim dan ketersediaan air yang dinamis, seharusnya lebih berhati-hati sebelum mengambil keputusan strategis terkait air.


Dengan demikian, alih-alih mengarahkan masyarakat untuk sekadar menahan diri dalam menerima informasi, Bupati Probolinggo seharusnya:


  • Membuka data teknis dan kajian lingkungan hidup kepada publik secara transparan.
  • Melibatkan DPRD, tokoh masyarakat, akademisi, dan LSM dalam proses pengambilan keputusan.
  • Menyusun mekanisme konsultasi publik berbasis prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagaimana diakui dalam norma internasional.



Sebagai penutup, menjaga ketenangan sosial memang penting, tetapi membangun keterbukaan dan akuntabilitas adalah syarat mutlak bagi tegaknya pemerintahan yang demokratis. Dalam kasus Ronggojalu, tabayyun bukan sekadar tentang menahan diri berbagi informasi, tetapi tentang keberanian membuka informasi. Seperti kata pepatah lama, “cahaya matahari adalah disinfektan terbaik” — dan dalam demokrasi, transparansi adalah kunci utama menjaga kepercayaan rakyat.





Referensi:



  • RMOL Jatim. (2025). Muslimat NU Probolinggo Soroti Rencana Lumajang Ambil Air dari Ronggojalu. Link.
  • Mehta, L. (2014). The Politics and Poetics of Water: Naturalising Scarcity in Western India. Orient Blackswan.
  • United Nations. (2012). The Human Right to Water and Sanitation.
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.



 

No comments:

Post a Comment